Minggu, 02 Agustus 2009

’Bijak’ , ’tak Bijak’ dan Situasional

’Bijak’lah

Dulu aku pernah pernah tergabung dalam kategori orang ’bijak’ versi pemerintah. Bahkan aku dan jutaan orang lain di pelosok nusantara, mungkin tergolong terlalu cepat ’bijak’. Mengingat kami-aku dan mereka- belum memnuhi syarat untuk menjadi ’bijak’. Pun demikian aku dan mungkin mereka tanpa sadar telah merasa bangga dan dibanggakan. Terutama oleh pemerintah.
Aku tak ingat kapan dan entah karena motif apa ada pergolakan, pemberontakan dalam diriku. Ia menolak tunduk dan terus menjadi ’bijak’. Di dalam diriku pun terjadi pergulatan, adu argumen dan antara dua kubu, yang terus ingin menjadi ’bijak’ dan yang enggan ’bijak’ lagi. Dan aku, tanpa tau mana ilham tuhan dan mana bisikan setan, menjadi juri atas diriku sendiri, atas pegulatan antara keduanya. Akan terus ’Bijak’ atau tidak.

”Silakan salah satu dari kalian mengajukan alasan kalian masing-masing. Dimulai dari kau ’Bijak’.” aku memulai persidangan.

Si ’Bijak’ mulai memaparkan semua pertimbangannya.

”Tuan, memang benar kalau bayi terlalu cepat dilahirkan, prematur, biasanya kurang sehat, tapi Anda dan mereka yang terlalu prematur untuk ’bijak’ ini sungguh tidak seperti bayi. Anda justru, telah melakukan banyak hal, tidak merepotkan sebagaimana bayi.”

”Maksudmu? yang lebih riil...” aku minta penjelasan yang lebih gamblang pada si ’Bijak’.

”Dengan terus melanjutkan menjadi orang ’bijak’ berarti anda telah membantu menopang keuangan pemerintah, menghidupi banyak pegawai negeri dan membuat banyak jalan dibangun.”

”Dalam bidang olahraga, menjadi ’bijak’ berarti ikut berkomitmen memajukan olahraga nasional, mulai sepakbola, bolavoli, futsal badminton, sampai motocross. Anda dan manusia Indonesia lain tak akan menonton liga Italia, Spanyol, Inggris Jerman, atau jika anda nasionalis, ISL, IBL tidak akan terselenggara tanpa ada orang ’bijak’.”

”Ooo.... berarti karena itulah pemerintah menyebut aku dan jutaan orang lain, lewat spanduk yang direntang di jejalanan, di tikungan dan perempatan, di depan institusi pemerintah, di lapangan dan di semua tempat strategis, sebagai orang ’bijak’. Semua spanduk itu tentu saja untuk menunjukkan pada khalayak bahwa aku juga berjasa bagi pemerintah dan bangsa dan karena itu menjadi pinuji?” aku bertanya dan mulai terpengaruh oleh pemaparannya yang rasional sekaligus emosional.

”Lebih dari itu..! Dengan menjadi ’bijak’, bagi manusia yang tak merasa cerdas, sebenarnya dia tak kalah dengan anak turun Habibi yang sedang bergelut di olimpiade, sebab dengan menjadi ’bijak’ dia akan membantu mereka yang mampu tapi tak mampu. Tengoklah di universitas seluruh Indonesia ada berapa skim beasiswa buah ’bijak’nya dia dan juga anda? Atau lebih gampangnya googling saja! Artinya kalau anda berhenti menjadi ’bijak’ maka tak akan ada lagi Habibie-habibie terlahir di pertiwi”

Ku tarik laptop di sampingku, segera saja ku lihat barang bukti yang disodorkannya tadi. Dan memang benar apa yang dikatakannya. Dengan menjadi ’bijak’ aku juga ikut berperan terhadap pendidikan nasional.

”Di bidang seni, anda juga ikut menyumbang agar kreativitas anak bangsa bisa di tonjolkan, ditunjukkan pada dunia luar, bahwa Indonesia juga bisa dan punya Indonesian idol. Bahwa kita masih punya pangeran dangdut setelah sang raja yang karena merasa tak pantas mentas karena telah udzur dan lebih berkonsentrasi untuk akhiratnya. Dan semua itu menegaskan bahwa dunia musik kita bukan kelas medioker, bukan semenjana seperti yang selama ini orang sinis dan pesimistik terhadapnya. Anda ikut andil dalam semua itu. Begitulah keprematuran anda untuk ’bijak’ sungguh punya banyak manfaat.”

”Yaa aku paham ’manfaat menjadi bijak’ memang merangkum seluruh sendi kehidupan, muta’addi lah kiranya dan muta’addi afdhalu min al-qashir”. Aku bergumam lirih.

”dan karena itulah sebagian besar orang ’bijak’ adalah orang Islam. Bahkan pak kiai, yang ’alim-’alim dan saleh-saleh itu juga kebanyakan adalah orang ’bijak’. Mereka semua menjadi ’bijak’ juga atas dasar pertimbangan maslahat itu.” si ’Bijak’ menimpali, rupanya ia mendengar gumam lirihku tadi.
Bahkan ia melanjutkan. Namun kali ini mulai tidak jelas.
”......selain itu, dalam bidang ini itu dan tiu pemberani, tangguh,.... selera pria,... bukan basa-basi..., enjoy aja bijak’....mantap, real adventure..slim, impo...” suaranya mulai meracau tak jelas, mungkin karena saking bergairah untuk tetap menjadikan aku sebagai orang ’bijak’.

”Cukup ’Bijak’...!” aku membentak. Aku rasa itu semua sudah cukup dan andai bukan karena telingaku ada dua pasti aku akan tetap ’bijak’. Hanya saja kita harus mendengarkan pembelaan dari ’tak bijak’.”

”Setelah jeda sidang, giliran kau ’tak bijak’, apa yang dapat membuatku percaya padamu dan menjadi tidak ’bijak’ lagi? Sampaikan nanti.”
” Keputusan yang mengikat baru akan diambil setelah ’tak bijak’ menjelaskan alasan-alasannya. Untuk masa jeda sidang dan mengantisipasi kemungkinan transisi saya nyatakan bahwa untuk saat ini kita anut prinsip SITUASIONAL. Sesekali boleh ’bijak’ dan boleh tidak. Thok....thok... ” palu aku ketukkan dua kali, menandai rehat.





Rupiah Menguat, Utang Semakin Ringan Apa Iya?

Utang semakin ringan, apa iya

Berita di media kemarin sungguh melegakan. Angin segar menyapa wajah ekonomi Indonesia; rupiah terus menguat, imbas positifnya adalah nilai utang kita yang semakin kecil. Beban utang yang dipikul oleh Indonesia memang sedikit lebih terasa ringan karena tren positif yang terus diperagakan oleh Rupiah terhadap Dollar Amerika. Andai semula utang kita 10 USD, dan 1 USD setara dengan 150 Rupiah, artinya utang (tanpa bunga) kita adalah 1500 Rupiah. Karena rupiah menguat, dari yang semula 150 per 1 USD menjadi 100 per 1 Dolarnya, maka utang kita secara otomatis juga menjadi berkurang menjadi ”hanya” tinggal 1000 Rupiah tanpa ngoyo, tanpa pemerintah mengeluarkan uang sepeserpun. Sekedar mengingatkan, sebelum masuk ke pembahasan, semua yang saya tuliskan diatas adalah sebuah simplifikasi, hanya penyederhanaan. Sebab pada kenyataannya, utang Indonesia jauh lebih besar, dan yang namanya utang tetap saja membebani, sekalipun telah menjadi ringan. Selain itu, masih dalam rangka mengingatkan, yang namanya utang dalam konteks hubungan luar negeri tidak pernah melulu didasarkan atas friendship apalagi kemanusiaan. Selalu saja ada konsekuensi baik ekonomi maupun politis yang menyertainya. Sebab bagi orang Amerika dan sekutunya there’s no free lunch. ”innama al-a’malu binniyati” kata Kanjeng Nabi mengingatkan.

Utang, dalam pembangunan, pada mulanya memang hanya difungsikan sebagai tiang tambahan, hanya faktor pembantu, bukan soko guru bagi pembangunan itu sendiri. Hanya saja karena there’s no free lunch, utang selalu selalu dipasang sebagai umpan sekaligus jebakan. Jadi sulit sekali, bahkan mustahil untuk bisa mengambil umpan itu tanpa terjebak masuk ke dalam debt trap.

Khusus untuk Indonesia, kata Cak Nun, ngutangnya kita ini bukan karena negara kita butuh ”pembantu” melainkan lebih karena sikap tawadlu’ kita terhadap dunia. ”biar disangka miskin, biar disangka tak mampu dan biar disangka bodoh dll. Toh Tuhan tahu bahwa sejatinya kita tidak demikian. Kita adalah negara kaya” demikian tulis Cak Nun.

Kembali ke Utang Vs Rupiah.

Karena sedari awal tulisan ini hanya merupakan sebuah simplifikasi, maka kita anggap saja beban yang kita pikul, terkait masalah utang, hanya tinggal utang dan cicilan bunga saja. Sedangkan faktor lain yang termasuk lawazim-nya utang kita eliminasi, kita anggap tidak ada atau sudah beres (semoga).

Karena yang tersisa tinggal kewajiban membayar utang dan cicilan, maka tugas kita sekarang tinggal membayarnya. Katakanlah, berdasarkan penyederhanaan di atas total utang kita adalah 1200 Rupiah. Yang 200 dari mana? Ini adalah bunga yang telah ”mekar”, yang seringkali terabaikan. Sebab saat meminjamnya bunga itu masih ”kuncup” dan baru ”mekar” saat jatuh tempo. Lalu kita bisa langsung ”setoran terhadap negara kreditur? Tunggu dulu. Lihat dulu berapa uang (dollar) yang ada di ”kantong ” APBN kita! Karena (sebagian ) utang kita denominasinya adalah dolar, artinya kita juga harus mbayar pakai dollar juga. Pun demikian, dollar yang kita punyai ini tidak bisa semau gue kita gunakan untuk mbayar utang semua hanya semata-mata karena aji mumpung rupiah menguat. Kita harus ingat juga bahwa, karena tawadlu’, negara ini membeli barang dari luar negeri (impor), walau sebenarnya barang yang kita beli juga ada di dalam negeri. Dan impor itu mbayarnya pakai dollar yang ada dikantong kita juga. Artinya uang yang ada di kantong kita yang sedianya akan digunakan untuk ”melunasi” utang berkurang karena unuk membiayai impor kita. Permasalahnnya sekarang berapa uang (dollar) yang kita miliki?

Uang yang akan membiyai impor dan membayar utang, seringkali diistilahkan sebagai devisa, merupakan penghasilan yang kita peroleh dari ekspor kita. Dari hal ini kita juga akan mengajukan tanya, berapa volume ekspor kita sekarang? Saya tak punya data untuk itu, dan karena saya tak ingin ngawur, maka ”jurus” yang akan saya pakai sekedar jurus ”meraba-raba”. Yang akan kita ”raba” adalah kondisi ekonomi dunia. Sebab ekspor yang berarti menjual barang ke luar negeri maka dengan sendirinya akan terkait kondisi perekonomian negara-negara maju tujuan ekspor kita. Sekedar menyegarkan ingatan, bahwa saat ini ekonomi dunia sedang mengalami resesi, kelesuan yang parah. Kelesuan ini tentu saja menyebabkan volume ekspor kita turun. Di sunia kondisi perekonomian yang bergairah bisa dihitung dengan jari. Itupun tak lengkap. Yang pertama China, kedua India. Negara kita, juga membuktikan kebesarannya dengan ikut termasuk dalam deretan ekonomi yang masih tumbuh ini. Dan negara yang tumbuh ekonominya itu bukanlah negara tujuan ekspor utama kita. Sebab negara tujuan ekspor kita justu emajon dalam maju. Sehingga pertumbuhan mereka negatif atau sangat rendah. Dus ekspor kita tak banyak. Dus, devisa yang kita punya juga tidak banyak, sedangkan utang kita tidak sedikit, disamping negara kita tetap butuh melakukan impor agar pabrik dalam negeri bisa tetap melakukan produksinya. ”Nah lho....utang turun, tapi uang untuk membayarnya juga tak ada!”


Soal kenaikan harga minyak

Apresiasi rupiah terhadap dolar Amerika juga dibarengi dengan harga minyak yang ikut naik. Di Indonesia, negara kaya tapi tawadlu’ ini, jika harga minyak naik maka harga minyak di dalam negeri juga akan naik. Kata pemerintah ” untuk mengurangi defisit APBN, sekaligus memperingan beban pemerintah” (dengan mengalihkan beban kenaikannya pada rakyat?).

Karena tawadlu’ juga negara kita ”sebenarnnya” punya minyak tapi tetap melakukan impor. Impor adalah membeli minyak di pasar internasional dengan harga internasional. Karena harga minyak sedang bergerak naik, maka kemungkinan besar pemerintah juga ingin cepat-cepat ”menyesuaikan” harga. Apalagi pemilu telah usai dan bahkan KPU telah mengumumkan siapa jawaranya. Dengan demikian pemerintah tak kurang alasan untuk segera menaikkan harga minyak. Dalam menjual minyak (BBM) ke masyarakat, pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh pertamina) memang tidak bertujuan untuk memperoleh profit (tapi jika bisa dan dalam jumlah yang banyak pula bukankah lebih bagus?). Yang jelas distribusi minyak dari pertamina kepada masyarakat saja diistilahkan ”jualan”. Implikasi dari kata jual adalah ketidakmauan untuk rugi.

Fenomena” impor minyak Indonesia tak lain juga berakar dari luhurnya nilai bangsa ini sehingga dalam urusan minyak Indonesia juga tak ingin ”serakah”, ingin selalu berbagi dengan orang lain. Karenanya, daripada melakukan eksplorasi dan ekstraksi secara mandiri sehingga terkesan egois, mending ”ngundang” orang lain untuk ikut bersama ”menikmati” yang kita punya. Kontrak kerjasama antara pemerintah dengan orang asing dinamakan KPS/ Kontrak Production Sharing. Jika ada dijumpai berita bahwa Indonesia mengekspor minyak, maka yang melakukan itu, sayang seribu sayang (atau justru puja tuhan), bukan Pertamina melainkan orang asing (KPS). Namun sebaliknya, jika ada berita impor minyak, maka bisa dipastikan impor itu dilakukan, sebagai bentuk ketawadlu’an, oleh Pertamina. Oleh Indonesia.

Sekali lagi, impor artinya kita keluar uang. Devisa kita berkurang lagi. Kalau begitu, sungguh nglunasi utang bukan perkara yang gampang. ”easy come” ternyata tak selamanya ”easy go”, hutang datang silih berganti tapi melunasinya susah setengah mati.

Rupiah menguat memang benar. Hutang otomatis berkurang tak salah dan karenanya kita bersyukur. Hanya saja sekarang berapa yang mampu kita bayar? Agar program pembangunan yang memang mendesak untuk dilaksanakan tidak terbengkalai. Juga agar kita tak menjadi dzalim karena termasuk kategori mathlul ghoniyyi, menunda membayar utang padahal kita mampu (hanya sedang tawadlu’). Optimisme ”bahwa kita mampu melunasi utang” memang wajib terus berkumandang dan diupayakan. Namun realistis dan tidak grusa-grusu dalam memanage masalah hutang juga penting. Semoga kita tak larut dalam ”euforia” menguatnya Rupiah yang jelas merupakan anomali pasca meledaknya bom Mega Kuningan. Mungkin juga apresiasi Rupiah sebatas bebungah, Tuhan sedang menghibur Indonesia setelah kemarin ditimpa musibah.






Kamis, 23 April 2009

Ego Extension Kyai

Semalam saya membaca renungan Muhtar Buchori (Indonesia Mencari Demokrasi, INSISTPress: 2005), tentang kesopanan, judulnya “Sopan, Correct, dan Kruiperig”. Dua istilah terakhir mungkin asing di telinga. Adapun artinya kurang lebih tingkah laku yang sesuai dengan etiket pergaulan untuk correct, sedangkan kruiperig artinya kesopanan pura-pura. Salah satu gagasan sentral dalam tulisan tersebut adalah pentingnya berlaku sopan secara benar. Maksudnya bisa menyeimbangkan antara keduanya; kesopanan dan kebenaran. Sebab berdasarkan pengamatan Muhtar Buchori keduanya seringkali timpang, sehingga yang lahir pada akhirya adalah kebohongan.

Ternyata susah juga untuk mencari ekuilibrium diantara keduanya saat ingin menuangkan pikiran dalam tulisan mengenai ego extension dalam kehidupan kyai ini. Invisible hands ala Adam Smith yang konon punya daya self-regulating ternyata susah untuk diterapkan dalam dua masalah nonekonomi ini. Namun dalam tulisan ini, walau pada kenyataannya susah, saya mencoba menyeimbangkan keduanya, agar tak ada kebohongan.

Saya menjadikan kesopanan sebagai semacam mukaddimah sebab obyek yang ingin saya tulis adalah Kyai. Sosok yang terhormat dan karenanya harus berlaku sopan terhadap mereka. Bahkan di Solo tidak hanya manusia bergelar Kyai yang di hormati dan disopani. Benda dan hewan pun bisa diperlakukan bak manusia dalam memperoleh kehormatan yang biasanya dialamatkan pada Kyai. Buktinya adalah Kyai slamet di Kolo dan banyak keris serta pusaka lain yang memakai Kyai sebagai julukan atau nama.

Kyai adalah sosok yang sangat terhormat. Apalagi di kalangan santri (pesantren salaf). Kyai adalah segalanya. Karenanya penghormatan, yang dalam istilah pesantren disebut takdzim, kepada mereka (kyai) adalah suatu yang sangat wajib. Dan karenanya takdzim santri itu seringkali berlebihan, bahkan kadang akan ada kesan kruiperig! Setidaknya, berdasar identifikasi Muhtar Buchori, kruiperig bercirikan perilaku penuh sanjungan terhadap orang lain dan merendahkan diri secara berlebihan. Dalam konteks hubungan antara santri dan kyai ciri ini bisa berlipat ganda. Di sinilah yang menarik, masih menurut Muhtar Buchori, jika manusia masih punya harga diri maka dia akan merasa muak menghadapi orang lain yang terus merendahkan diri. Namun,sejauh pengamatan saya, gejala ini tidak begitu terlihat dalam konteks relasi Kyai-santri. Yang ada justru Kyai sangat menikmati penghormatan itu, walau dalam bentuk kruperig sekalipun! Dalam bahasa yang vulgar, banyak Kyai yang gila dihormati! Jika diteruskan lagi maka, dengan sangat terpaksa saya katakan, ada beberapa Kyai yang tak punya harga diri. Contohnya, jika mencucup tangan merupakan suatu cara untuk menghormati orang lain, maka lihatlah betapa Kyai menikmati tangannya “dicucup” oleh santri! Tidak salah memang, demikian agama memerintahkan pemeluknya untuk menghormati orang yang berilmu. Dan “nyucup” tangan merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam konteks masyarakat Indonesia. Apalagi kyai identik dengan ulama. Sabda Nabi juga jelas “ulama adalah para pewaris Nabi”. Jika ditambah konsep barokah yang sangat lekat dengan dunia pesantren maka lengkap sudah alasan untuk menghormati kyai. tentu saja tidak semua Kyai demikian, gila dihormati. tapi ada beberapa.

Soal ego extension atau perpanjangan ego, atau perpanjangan rasa ke-aku-an berarti seorang anak yang diperlakukan oleh orang tuanya sebagai perpanjangan atau tumpuan rasa keakuannya (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Dalam dunia Kyai ego extension adalah sesuatu yang sangat kentara. Kebanyakan kyai yang (juga merupakan ayah) seringkali punya keinginan untuk menjadikan anaknya- sering disebut “gus”- lebih baik darinya atau setidaknya identik dengannya. Ego extension ini bisa dilihat pada serangkaian program penggemblengan yang dilakukan kyai terhadap anaknya sejak dini. Katakanlah, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) seorang gus harus hapal nadzam 'imrithiy (tata bahasa arab), selesai ngaji kitab fiqh yang ini, akidah yang itu dan begitu selanjutnya. Akan terus bertingkat setiap sang gus bertambah tingkat pendidikan dan usianya. Singkatnya seringkali kyai punya kurikulum khusus untuk menggembleng sang gus agar dia “berbeda” dan lebih dari santri-santrinya pada usia yang relatif masih muda. Sayangnya, saat memutuskan untuk berbuat itu kyai tidak memahami bahwa sebenarnya dia sedang melakukan pemaksaan nilai terhadap anaknya. Nilai yang tak lebih adalah kepanjangan dari obsesinya. Kepanjangan dari rasa keakuannya. Padahal menurut kajian pedagogi, tiap individu punya keakuannya tersendiri (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Jadi mungkin saja seorang anak kyai punya ego yang bebeda dari ayahnya Sebab keakuan (ego) ini, tidak muncul sebagai sesuatu yang instan, melainkan bertahap. Sejalan dengan perkembangan dan interaksi sosial seorang anak.

Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa kejadian (ego extension) semacam ini sangat lekat dengan tradisi kyai. Salah satunya menurut saya adalah gelar kyai, yang merupakan suatu gelar kehormatan, diwariskan secara turun temurun. Meskipun sebenarnya pada awalnya gelar kyai bisa saja diperoleh dari nol. Dengan trukah, mendirikan pondok pesantren misalnya seseorang bisa saja mendapat sebutan kyai. Namun untuk kelajutannya akan terulang lagi, pewarisan gelar kyai pada gus. Adanya istilah gus juga merupakan pembenaran akan gelar kyai adalah sesuatu yang diwariskan. Dalam konteks ini, gus bisa saja dipahami sebagai kyai muda atau calon kyai. Padahal, sekali lagi gawagizs (bentuk jamak dari gus, berarti para gus) berdasarkan kajian pedagogi yang bersifat normatif tadi, punya ego mereka masing-masing. Ada yang mungkin sama dan mungkin juga berbeda dengan sifat (ego) ayahnya. Jika sama tentu tak ada masalah. Namun jika tidak, dan kyai tetap menjalankan kurikulum khususnya itu, yang terjadi adalah apa yang di sebut oleh banyak pakar sebagai sebuah pemaksaan nilai dan bukan penanaman nilai.

Ironisnya, walaupun kebanyakan gawagizs menjadi korban ego extension ini diawal hidup, setelah mereka jalani banyak juga yang akhirnya bahagia lahir batin. Mereka sukses berkat skenario pemaksaan nilai. Pendapat bahwasanya sebuah pendidikan hanya akan bisa optimal jika didasarkan pada penanaman nilai dan bukannya pemaksaan mendapat satu exception, pengecualian. Atau dalam bahasa pesantrennya kaidah “li kulli qâ'idatin mustastnayât”. Setiap kaidah pasti punya pengecualiannya. Dan santri, ketika menyimak fakta ini akan bersorak kemenangan bahwa apa yang dilakukan kyai mereka memang benar. Ego extension tidak terbukti berakibat buruk untuk Kyai yang mereka hormati “Ini urusan karomah. Persetan dengan ego extension, pedagogi dan analisis ilmiah!”

Kebahagian dan kesuksesan gawagizs yang notabene adalah adalah produk ego extension, bagi saya tentu bukan monopoli barokah semata. Ada hal rasional yang juga bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini. Selain internalisasi nilai yang walaupun dipaksakan tapi tetap berjalan dengan baik pada diri gawagizs, adanya reward atau kompensasi dalam lingkungannya juga ikut menopang kebahagian gawagizs tadi. Lingkungan? Ya! Pesantren yang terdapat banyak santri yang telah didoktrin sedemikian rupa untuk takdzim baik dalam bentuk correct atau kruiperig.

sekedar menjelaskan, kruiperig dalam bahasa pesantren dekat sekali dengan munafik.

wallahu a'lam bi al shawâb



ANDAI MEREKA SADAR..

Ekonomi memang punya dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya aspek psikologis. Apalagi dalam masyarakat modern di mana materialisme berkembangbiak dengan sangat subur. Krisis ekonomi Amerika misalnya, yang mengakibatkan banyak orang kehilangan mata pencaharian diikuti dengan meningkatnya angka bunuh diri dan pembunuhan (kriminalitas) adalah bukti konkrit hal ini. Di Indonesia permasalah ekonomi (baca: keuangan) juga direspon dengan cara yang relatif sama. Bunuh diri, dan satu hal lain: gangguan kejiwaan. Pesta demokrasi yang berbiaya mahal ini di Indonesia terbukti mengakibatkan ganguan kejiwaan terhadap para kontestan, terutama para caleg yang gagal. Gelontoran dana besar yang mereka lakukan selama masa kampanye ternyata gagal merealisasikan keinginan mereka: harta dan tahta (dan mungkin juga wanita).

Pemilu legislatif ini diakui banyak kalangan sebagai salah satu pemilu yang berbiaya tinggi (high cost general election). Walau dalam pelaksanaannya terbilang kondusif, tetapi tetap seperti yang diramalkan banyak pihak, kualitasnya rendahan. Bahkan banyak kalangan juga menilai pemilu legislatif 2009 ini selain sebagai pemilu paling mahal juga pemilu dengan kualitas terburuk sepanjang sejarah penyelenggaran pemilu di Indonesia.

Bagi para caleg, pemilu memang membutuhkan pengorbanan dalam banyak hal. Waktu, tenaga, pikiran dan materi banyak yang tersedot untuk tujuan itu. Para kontestan caleg agar dipilih maka mau tidak mau mereka harus memperkenalkan diri kepada masyarakat yang akan menjadi pemilih (konstituen)-nya. Sosisalisasi politik ini bukan tidak berbiaya. Justru biayanya sangat besar. Para kontestan harus ”belanja politik” dengan membuat berbagai alat peraga untuk mempromosikan dirinya. Dari sekedar stiker, pamflet, spanduk, baliho, sampai iklan di media massa baik cetak maupun elektronik. Ditambah uang untu menggerakkan mesin politik mereka. Itu dalam politik yang dilakukan secara bersih. Jika dengan cara kotor, tentunya masih ditambah satu komponen penting lagi, yaitu anggaran untuk money politics. Sekilas saja bisa dibayangkan betapa besar dan yang harus dikeluarkan oleh seorang caleg.

Paham Konsekuensi
Sebenarnya ketika seseorang telah siap maju dalam pencalonan, tiap dari hal yang mereka korbankan akan punya kosekuensi lanjutan. Kata kaidah fiqhiyyahnya “ al ridlo bi al syay'i ridlo bima yatawalladu minhu”. Terjemahnya kurang lebih jika seseorang melakukan sesuatu maka ia harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi yang terbaik dan paling diharapkan oleh para caleg tentunya adalah meraih kemenangan dan terpilih. Adapun konsekuensi yang lain tentu saja kalah dan tidak terpilih. Namun keduanya, baik menang ataupun kalah masih menyisakan konsekuensi lanjutan. Salah satu yang negatif dan paling populer tentunya korupsi berikut cercaan bagi pemenang dan rugi secara finansial berikut gangguan kejiwaan bagi yang kalah. Entah disadari atau tidak hal tersebut oleh para caleg.

Konsekuensi lanjutan diatas sangatlah tergantung dari motivasi tiap individu untuk jadi kontestan pemilu dan cara mempersepsikan jabatan wakil rakyat yang diinginkannya. Idealnya, motivasi yang mendorong seseorang terjun dalam pencalonan adalah ketulusan dan keikhlasan. Tulus mengabdi, memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketulusan yang seperti ini jelas tidak datang dari ruang hampa. Ketulusan ini tumbuh dari pemahaman yang apik dan benar tehadap tugas legistator dan keinginan yang kuat untuk memajukan masyarakat. Jika yang dipahami oleh para caleg dari tugas legislator hanyalah “datang, duduk, dapat duit” (4D), tentu akan sulit mengharapkan mereka menjadi sosok yang punya ketulusan dan keinginan yang kuat untuk memajukan masyarakat. Ketulusan, di sisi lain juga bisa memunculkan sifat legowo atas hasil pemilu. Mengakui bahwa yang menang adalah lebih unggul, lebih dipercaya masyarakat

Begitu halnya jika jabatan sebagai anggota dewan dipersepsikan sebagaimana mestinya, bukan sebagai suatu “lahan basah”, tentu tak akan ada masalah. Yang menimbulkan banyak dampak negatif (termasuk maraknya stres) di kemudian hari adalah jika yang terjadi sebaliknya. Dewan dianggap “lahan basah” yang sangat menjanjikan dalam menumpuk harta dan kehormatan (baca: gengsi). Insentif, baik finansial (dalam bentuk gaji, berbagai tunjangan dan juga potensi korupsi) maupun sosial yang diperoleh anggota dewan memang terbilang menggiurkan bagi sementara kalangan. Akibatnya bisa dilihat dari banyaknya caleg dalam pemilu legislatif kali ini. Naif sekali rasanya jika mengatakan bahwa yang melatarbelakangi majunya seorang caleg adalah murni ingin berjuang untuk rakyat, tanpa “melirik” insentif finansial maupun sosialnya. Andaikata insentif anggota dewan, terutama yang finansial tidak sebesar yang sekarang, mungkinkah peminat (caleg)-nya akan sebanyak pemilu kali ini?

Mencuatnya fenomena stres di kalangan caleg yang gagal juga merupakan sebuah koreksi atas pemilu dan demokrasi di Indonesia. Pemilu yang mahal baik dari segi penyelenggaraan maupun dana yang harus ditanggung kontestan ternyata tidak linear dengan kualitas proses dan hasil pemilu. Pemilu yang kapitalistik seperti ini, alih-alih solutif justru melahirkan problematika baru. Semestinya pemilu di Indonesia lebih memperhatikan pada kompetensi, kapabilitas dan kapasitas para kontestan, bukan pada ability to pay. Sesuatu yang harus diperhatikan.



KETIKA CARREFOUR MENERUSKAN ESTAFET

Dalam dunia modern siapa yang tak mengakui betapa gemilangnya gagasan yang dikemukakan oleh J.J Rosseau, pemikir Prancis mengenai egalite, fraternite,dan liberte? Gagasan yang berarti persamaan. Persaudaraan dan kebebasaan. Ada banyak interpretasi yang berkembang di kemudian hari. Ekspansi pesat yang dilakukan oleh Carrefour dalam bisnis ritel di Indonesia boleh jadi merupakan pengejawentahan dari salah satu atau semua konsep Rosseau tadi dalam bidang ekonomi. Sayang itu dilakukan dengan sangat timpang dan kebablasan. C4, demikan carrefour biasa disebut, belakangan menjadi ikon bisnis yang selalu menghiasi berita baik cetak maupun elektronik. C4, sebagaimana dituduhkan banyak pihak disinyalir telah melanggar Undang-Undang No.5/ 1999 tentang larangan monopoli. Tongkat estafet penjajahan ekonomi pun kembali bergulir. Dan perusahaan ritel asal Prancis tersebut yang kini mengambil alih peran VOC, Exxon, Freeport dan perusahan asing lain yang telah terlebih dahulu menguras kekayaan negeri ini. Estafet penjajahan ekonomi mulai berayun ke tangan Carrefour.

Gelagat monopoli yang ingin dilakukan C4 sebenarnya telah lama terendus. Tahun 2005, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mewajibkan perusahaan ritel asal perancis ini membayar denda sebesar 1,5 Miliar (Majalah tempo, 19/04/2009). Sebabnya, saat itu C4 menerapkan minus margin dalam persyaratan dagangnya. Hal ini dilaporkan salah satu pemasoknya ke KPPU. Baru empat tahun berselang, kini C4 menghadapi masalah yang serupa. Bedanya kali ini bukan cuma satu pemasok yang mengadukan kesewenang-wenangan carrefour, melainkan sembilan pemasok yang dihadapi Carrefour.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjelaskan mengapa C4 begitu bernafsu melakukan monopoli. Pertama, budaya konsumerisme yang tumbuh pesat di negeri yang katanya religius dan kaya akan kearifan lokal ini. Masyarakat Indonesia tampakya semakin terobsesi dengan segala hal yang berbau modern. Benar apa yang ditulis Muhtar Buchori dalam Indonesia Mencari Demokrasi bahwa telah terjadi perubahan dalam masyarakat ketika memahami modern. Menurutnya, frase modern belakangan punya konotasi dari “sekedar baru” atau “just now” bertambah menjadi “baru yang lebih baik”, “lebih bergengsi”, “lebih sehat”. Jika demikian adanya, wajar jika Carrefour yang punya konsep serba modern mendapat tempat yang lebih di hati masyarakat. Carrefour juga sangat jeli memafaatkan kondisi ini. Hal ini terlihat dari moto Carrefour yang sangat persuasif “ke Carrefour aja... akh!” . Kedua, bisnis ritel di tanah Air memang memang sangat menjanjikan. Pangsa pasar penjualannya pada tahun 2008 mencapai 95,3 triliun, dengan tingkat petumbuhan 21,1 persen dan merupakan yang terbesar kedua di Asia-Pasifik (Repulika, 15/04/2009)! Prestasi ini tentu saja aneh mengingat Indonesia adalah negara berkembang dengan tingkat PDB perkapita yang tidak terlampau tinggi. Bahkan untuk kawasan Asia Pasifik sekalipun. Dengan sendirinya hal ini juga mengisyaratkan kecenderungan pola hidup hedonis yang semakin tinggi dalam masyarakat Indonesia.Wajar jika banyak yang tergiur melakukan monopoli sektor ini di Indonesia. Dan carrefour yang tergoda pertama melakukannya. Ketiga, kelengahan dari KPPU dalam mengawasi bisnis ritel di tanah Air. Dari kasus ini terlihat bahwa KPPU terkesan jaga gawang, dengan hanya menunggu pengaduan dari pihak yang terdzalimi. Padahal bisnis ritel sangat potensial dan karenanya sangat rentan terhadap monopoli. Keberanian Carrefour melakukan pelanggaran yang sama (jika tuduhan monopoli yang sekarang terbukti) dalam selang waktu yang berdekatan menunjukkan kekurangsiagaan KPPU dalam mengawal Undang-Undang anti monopoli. Kondisi ini mutlak menuntut KPPU bersikap proaktif guna mencegah kejadian serupa terulang.

Monopoli dalam bisnis ritel di Indonesia jika dibiarkan pada akhirnya juga akan membuat rakyat, terutama pedagang di pasar tradisional yang semakin terpojok. Akuisisi 75% terhadap Alfa supermarket, akan menjadikan carrefour sangat menguasai bisnis ritel di Tanah air. Artinya, di satu sisi Carrefour berpeluang besar melakukan monopoli dalam penjualan sekaligus monopsoni pembelian terhadap pemasok (Suharto, 16 April 2009). Pengaduan yang dilakukan oleh 9 pemasoknya dengan sangat jelas menunjukkan hal ini. 9 pemasok C4 ini mengeluhkan pemotongan margin yang dipersyaratkan Carrefour di bekas supermarket Alfa yang baru saja diakuisisi. Akibatnya tentu saja keuntungan yang diperoleh pemosok akan tersedot menjadi bagian dari keuntungan Carrefour. Sekali lagi perusahaan asing menjajah ekonomi Indonesia. Kemerdekaan dalam bidang ekonomi, sebagaimana ditulis oleh DR. Sritua Arief, ternyata hanyalah ilusi belaka.

Sebagai perusahaan yang punya induk semang di Perancis, negara yang memperkenalkan konsep liberte, egalite dan fraternite harusnya Carrefour menerapkan ketiganya secara berimbang. Jangan hanya menggunakan kebebasan (egalite), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite) sebagai pemanis dalam proposal dan Public Relation (PR) mereka guna mendapat berbagai kemudahan untuk berdagang, namun kemudian melupakannya dalam praktek bisnisnya. Bagaimanapun juga monopoli sangatlah bertentangan dengan ketiganya. Monopoli yang berakar dari egoisme jelas menafikan kebebasan (liberte) yang dimiliki oleh orang lain. Mengingkari rasa persaudaraan (fraternite), dan mencederai (egalite) persamaan. Dalam konteks monopoli Carrefour dalam bisnis ritel Indonesia, terlihat jelas bahwa ketiga prinsip di atas telah dilanggar.

Kejadian ini bisa disikapi juga sebagai alat koreksi atas religiusitas dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini. Nilai-nilai religi dan kearifan lokal tampaknya semakin kendor dan kedodoran dalam menghadapi serbuan budaya barat yang kali ini tampil dalam wajah konsumerisme dan budaya hedonis. Saatnya kita berintrospeksi.





Kamis, 05 Maret 2009

Laskar Pelangi yang Lain?



Tiap berangkat kuliah, aku melewati jalan yang sama. Selalu. Dengan berjalan kaki tentunya. Selain karena belum punya motor, kampusku juga terbilang sangat dekat dari kost. Paling cuma sekitar lima menit. Atau versi Tora Sudiro cuma sak ududtan ( isapan sebatang rokok). Itupun dengan langkah santai, jika pas telat bangun barangkali cuma tiga menit. Sangat dekat memang. Sebenarnya jalan itu bukan satu-satunya jalan menuju kampus, ada juga jalan alternatif lain. Tapi harus muter dan karenanya jadi lebih lama sampai kampus.

Di pertengahan jarak antara kostku dan kampus ada satu SMA (Sekolah menengah atas). Tampaknya kejuruan. Aku tak tahu pastinya. Sebab pas lewat di depannya cuma sesekali aku melirik ke arah SMA yang kecil itu. Kelasnya mungkin cuma ada lima. Sangat kecil untuk sebuah SMA di Jogjakarta. Kota yang selama kata banyak orang adalah kota pelajar.

Sepintas lalu, papan nama itu berwarna biru muda. Tulisannya berwarna putih, tapi tak sekalipun aku luangkan waktu untuk benar-benar membacanya. Sering aku tersenyum sendiri tiap lewat depan SMA itu. Mirip orang gila barangkali. Tapi senyumku itu bukan tanpa alasan. Aku tersenyum karena aku kerap terbayang dengan kisah laskar pelangi. Tepatnya teringat akan SD sekaligus SMP Muhammadiyyah tempat laskar pelangi bersekolah. Di bawah tempaan bu Muslimah dan Pak Harfan. Jauh di Belitong sana.

"Adakah Laskar pelangi lain di sini? Adakah Lintang-Lintang lain di sini, yang sedang mencengangkan dan membuat para guru berdecak kagum?Adakah cah Jogja lain yang sangat narsis saat menyanyi dan sangat suka dengan hal-hal klenik seperti halnya Mahar? Trapani, Sahara, dan semua anggota laskar yang lain? Atau malah Ikal versi Jogja yang akan muncul dari sini?" Pikirku tiap melintas depan SMA itu. Sebab jauh di Belitong sana, karisma Kyai Ahmad Dahlan mampu melecut laskar pelangi tetap semangat bersekolah dalam segala keterbatasan yang ada. Bagaimana dengan di Jogja sini? Kota kelahiran beliau?





Jumat, 27 Februari 2009

Salafiy


kitab kuning,
alfiah...!!!
kyai,.
soraban..!!
bedug ..

sempet..
barokah
jorok
islam!
NU.. ziaroh

10 detik mungkin,
bertajuk pesantren
salaf
asosiasi kami berlangsung,.

ada gumpal rasa
kadang bergegap gempita, meluap dan meledak
emosional dan jarang sekali rasional...
sulit kutengarai gumpal itu
dari apa terbentuk

tawa jelas ada, walau tentang kehampaan
sedih, tapi kenapa harus bersedih?
bangga, juga akan apa?
barokah barang kali? Hanya semoga yang ada

oo...pesantren,,

Bahasa Ilmiah Ilmuwan


Ekonom, politikus, rohaniawan, dan orang lain yang sejenis yang bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan di kelasnya seringkali punya kesamaan. Kesamaan yang dimaksud disini bukan dalam segi semuanya merupakan orang yang berilmu atau punya pemahaman yang sangat luas dan baik dalam bidangnya. Melainkan kesamaan perihal kebiasaan mereka (bahkan seringkali seperti kesengajaan) untuk memakai bahasa yang tidak dipahami oleh orang lain. Bahasa yang terkesan melangit. Atau kalau menurut istilah mereka bahasa yang ilmiah.

Bahasa ilmiah, entah mengapa susah sekali menemukan yang asli bahasa Indonesia. Bahkan mungkin jika ada ilmuwan Indonesia sekalipun yang menemukan sesuatu yang baru dan bersifat ilmiah ia tidak lantas menamakannya dengan bahasa Indonesia. Tanah Air kita memang bukan (semoga akan) menjadi pusat sesuatu yang kerap disebut ilmiah. Sesuatu yang ilmiah selama ini seringkali hanya dinisbatkan pada negara-negara benua biru (Eropa),Amerika Latin atau negara-negara kawasan timur tengah (Jazirah Arab). Menjadi suatu kewajaran tentunya jika bahasa dari negara-negara tersebut dan bukannya bahasa Indonesia yang akan digunakan dalam sesuatu yang bersifat ilmiah.

Harus kita akui memang bahwa bahasa Indonesia sangatlah miskin kosa kata. Penyebabnya jelas, bahasa Indonesia tergolong masih sangat muda sehingga banyak sekali kosa kata dalam bahasa indonesia merupakan serapan dari bahasa lain. Diserap begitu saja paling dengan merubah sedikir cara mengejanya (sebabnya barangkali lebih karena faktor lidah). Alih-alih berusaha memperkaya dengan karya sendiri para ilmuwan malah ikut andil dalam mempopulerkan (populer juga termasuk kata serapan) bahasa serapan. Kata mereka ini adalah bahasa ilmiah.

Saya juga tak habis pikir, mengapa untuk disebut ilmiah sesuatu harus memakai bahasa asing seperti itu? Sehingga akan lebih sulit di mengerti. Padahal sifat ilmu adalah memudahkan. Dengan ilmu sesuatu bisa dilaksanakan dengan lebih baik dan pantas. Menyupir contohnya, jika ketepatan waktu, keanglesan dan kenyamanan penumpang yang jadi patokan penilaian, maka tentu orang lebih memilih untuk disupiri Michael Schumacher daripada oleh si Badu yang tukang parkir dan tidak tau ilmu nyupir. Penumpang akan lebih cepat sampai di tujuan dengan Michael Schumacher bahkan mungkin saat Badu belum berhasil menyalakan mesin mobil. Ilmunya para ilmuwan kan tidak beda jauh dengan ilmu nyupir tadi. Paling sekedar mengubah dari yang asalnya dilakukan dan seolah biasa menjadi susunan bahasa yang diperbincangkan dan dituliskan. Tentunya dengan cara dan urutan yang menjadikan sesuatu itu pantas disebut ilmu sehingga bersifat ilmiah. terus mengapa harus memakai istilah yang njlimet itu? Kata mereka agar tidak dinilai sebagai suatu bentuk penjiplakan (istilah ilmiahnya plagiarisme).

Penjiplakan sebenarnya juga hanya masalah tata krama dan tanggung jawab moral dari tiap orang yang hendak merujuk pada hasil karya orang lain. Menurut saya hal yang mendasar dari pengutipan bukan ada pada bagaimana kita menuliskan (atau mengatakan) ulang, apakah akan persis sama atau dengan sedikit kemiripan dan sedikit mendandaninya. Yang terpenting adalah si pengutip atau perujuk mengakui dengan jujur bahwa pemikiran iyang diungkapkannya adalah bukan murni pemikirannya. Melainkan wangsit dari "mbah Jambrong" misalnya.

Terus bagaimana sikap kita terhadap bahasa ilmiah? Yang arif sajalah. Cukup tahu, jika sudah tahu beritahu orang lain. Cukup ngerti tapi jangan lupa kasih ngerti orang lain juga. Kalaupun tertarik dan ingin memperdalam (menjadi ilmuwan) ya silakan! Tak ada yang melarang. Asalkan ketika sudah pintar jangan minteri (membodohi) orang lain. Yang pintar yang benar. Semakin tahu dan paham seseorang akan hakikat sesuatu, sebenarnya ia punya tanggung jawab untuk membuat orang lain dari yang semula tidak ngerti menjadi ngerti, dari yang hanya setengah-setengah menjadi penuh, dan yang sudah ngerti menjadi paham sepertinya. Bukan malah sebaliknya, membuat orang semakin tidak mengerti. Adapun caranya terserah.

Hanya saja kalau mau percaya dengan Imam Ghazali coba saja merujuk pada cara yang pernah diungkapkannya. Dalam salah satu karangannya yang berjudul Mi'yar al 'Ilmi beliau menyarankan agar orang yang berniat menyampaikan sesuatu (ilmu) pada orang lain, hendaklah ia menyesuaikan bobot dan bahasa omongan dengan orang tersebut. Jika lawan bicaranya adalah tukang kayu maka usahakan kita bisa menggunakan istilah perkayuan yang sering dipakainya agar dia lebih bisa paham. Jika ilmuwan itu tak mengerti sama sekali tentang perkayuan, lantas mengapa masih disebut ilmuwan?

Sekali lagi, makna yang tersirat dalam kata ilmiah adalah bahwa sesuatu yang ilmiah itu bisa membuat pekerjaan lebih baik, mudah ataupun pantas. Bukan malah mempersulitnya. Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka tak sepantasnya para ilmuwan yang masih begitu mau disebut sebagai ilmuwan. Apalagi sampai mengaku-aku.

Kamis, 26 Februari 2009

Tanyaku tentang Korupsi


Korupsi

hari ini...
dosen berujar tentang korupsi
sinis sekali senyumnya akan para koruptor
dia tak ingat barang kali
mahasiswanya sampai gerah menunggunya
sedari tadi...

jumat lalu
dengan semangat menggelora
khotib di masjid memimpin koor jumat
mendoa bagi koruptor
agar lekas mertobat
barangkali beliau lupa
jemaat yang bercucur keringat
berharap ia lekas turun

tiap hari...
penuh emosi, mahasiswa berumpat
koruptor keparatttt!!!
lupakah mereka
saat ulangan tadi?

tak lupa atas nama rakyat
yang makin hari makin sekarat
mahasiswa muntab,muncrat
ingin mendamprat
siapa...???
birokrat bejat!!!
teknokrat,aristokrat,juga pejabat!!!

kata mereka...
gara-gara mereka nikmat jadi laknat
laknat disuap jadi nikmat,,
gara-gara korupsi, singkatnya

korupsi...???
aku harap mereka masih ingat
soal SPP,
juga orang tua yang berharap
dan menitip a-manat

ah..siapa sebenarnya koruptor itu?
hanyakah orang lain?

Rabu, 21 Januari 2009

Krisis Ekonomi Amerika, Akhir dari Neoliberalisme?


KRISIS AMERIKA : AKHIR DARI NEOLIBERALISME?

Siapa yang menyangka bahwa perekonomian Amerika sempoyongan seperti sekarang? Apalagi jika dtambah fakta bahwa yang memporak-porandakan perekonomian pada mulanya AS ternyata “hanya” kredit perumahan yang macet. Dengan tanpa ampun kredit macet ini menghentikan roda perekonomian AS. Perusahaan-perusahaan besar yang selama ini kerap dibanggakan lumpuh tidak berdaya dan minta suntikan dana agar tetap bisa bertahan. Perusahaan tersebut antara Stanly, Merryl linch, Citigroup Inc, dan Lehman Brothers dan terakhir General Motor ikut masuk bangsal perawatan akibat krisis. Secara teoritis ,krisis yang melanda Amerika ini
akan terjadi dalam tiga gelombang (ishak Rafick,2007): gelombang pertama, gelombang subprime mortgage atau kredit perumahan yang macet tadi. Pada gelombang kedua bank pemberi kredit akan dihajar ganti oleh krisis. Sedang diurutan ketiga perusahaan asuransi dipastikan kebagian hantaman krisis juga.
Kriwikan dadi grojogan demikian orang jawa mengibaratkan krisis yang terjadi di amerika sekarang ini. Bermula dari masalah yang kelihatannya sangat sepele, sekedar subprime mortgage berubah menjadi krisis finansial yang harus diobati dengan dana yang luar biasa besar. Tahap awal saja dana yang harus disuntikkan mencapai 700 US$ jika dikurs dengan Rp 10.000 maka dengan Rp 7.000 Triliun!!! Krisis ini jelas sekali mencoreng muka AS yang selama ini selalu mengkampanyekan pasar sebagai satu-satunya alternatif bagi perekonomian dalam upaya mencapai tujuannya (kemakmuran). Pasar yang selama ini di puja sebagai sumber kemakmuran negara maju, ternyata malah kini berlaku sebaliknya, lonceng kematian justru yang dibawa oleh sistem pasar bebas. Krisis Amerika ini adalah bukti bahwa neoliberal hanya bagus sebagai mitos tapi hanya omong kosong besar jika di bawa dalam kehidupan ekonomi nyata.
Selama dua dekade terakhi AS bersama inggris menjadi dua negara yang sangat aktif mengkampanyekan kebijakan ekonomi neoliberal pada semua Negara. Sebab menurut dua negara tadi liberalisasi atau kebijakan neoliberal (dalam dunia modern) merupakan satu-satunya alat untuk mencapai kemakmuran.
Istilah neoliberalisme sebenarnya merujuk pada doktrin pasar bebas yang dimunculkan oleh ekonom liberal klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Menurut Ha- Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku mereka Reclaiming Development : an Alternative Economic Policy Manual, neoliberal punya tiga komponen utama. Pertama menaikkan peran pasar menjadi lebih tinggi dari pemerintah dalam pengelolaan perekonomian dan mediasi arus barang dan modal (melalui penghapusan berbagai macam bantuan,patokan harga, membuka perdagangan bebas, kurs mengambang dll). Kedua, memberi ruang lebih pada swasta melalui swastanisasi asset pemerintah dan deregulasi peraturan yang anti swasta. Dan terakhir menggembar-gemborkan kebijakan ekonomi yang kuat melalui anggaran berimbang, fleksibelitas pasar tenaga kerja inflasi rendah dll (Chang & Grabel 2007).
Selama dua dekade masa pekembangannya neoliberal mengklaim telah mewarnai dunia, tidak sebatas dalam aspek ekonomi, dengan hasil yang sangat positif. Ekonom neoliberal dengan bangga mengatakan bahwa pembatasan peran pemerintah telah mengurangi defisit dan tekanan inflasi, pasar semakin terdorong, mengarah pada efisiensi dan menjadikan investai baik asing maupun domestik lebih bergairah (Chang & Grabel,2007). Hal ini berarti secara umum kebijakan neoliberal telah mengantarkan manusia ke gerbang kemakmuran. Padahal pengamatan yang jeli terhadap data-data sejarah akan menunjukkan bahwasanya klaim ekonom neoliberal tadi tidak berdasar. Dani Rodrik, seorang ekonom Harvard, telah membuktikannya. Rodrik mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan prestasi ekonomi lain yang dikumandangkan oleh pengusung panji neoliberal ini sebenarnya tidak ada. Menurut Rodrik ,kebanyakan negara yang mempraktekkan kebijakan neoliberal justru mengalami pertumbuhan yang negatif. Negara-negara Afrika sub Sahara adalah korbannya. Sementara itu tercatat hanya tiga negara di Amerika Latin yang mengalami pertumbuhan lebih baik selama periode neoliberal jika dibandingkan dengan masa intervensi pasar (1950-1980). Negara itu adalah Argentina, Chili dan Uruguay. dampak lain penerapan kebijakan neoliberal adalah kesenjangan baik di dalam suatu negara maupun antar negara yang semakin meningkat. Padahal tujuan utama ekonomi adalah kemakmuran dan pemerataan distribusi kekayaan adalah salah satu indikatornya.
Jika seperti ini adanya neoliberal, ditambah bukti terbaru kolapsnya ekonomi Amerika yang merupakan pemuja utama neoliberal apakah ini merupakan pertanda bahwa neoliberal telah habis? Sebagaimana komunis yang telah runtuh beberapa tahun silam? Menarik dan pantas ditunggu ideologi apakah yang akan ganti merajai dunia?


Tarik Ulur Subsidi BBM


Mungkin masih banyak masyarakat yang tak paham benar dengan arti subsidi bahan bakar minyak (BBM) itu apa, walaupun dalam kehidupan nyata mereka tidak pernah bisa lepas dari BBM. Semua barang yang kita gunakan (konsumsi) semuanya berbau BBM. Mulai dari yang jelas terlihat menggunakan BBM seperti kompor dan mobil, sampai yang secara kasat mata tampak tak berkaitan sama sekali dengan BBM, seperti halnya baju yang kita kenakan. BBM bagi kehidupan manusia sekarang ini ibarat darah yang melumuri daging, semuanya merah dan “amis” oleh BBM
Sebab semua barang yang sampai pada tangan kita untuk kemudian kita konsumsi dari proses produksinya sampai distribusi semuanya memerlukan BBM. Oleh karena itu ketika harga BBM naik, maka secara otomatis harga barang lain akan terkatrol naik.
BBM adalah komoditas langka, dibutuhkan semua negara tapi tidak di semua negara BBM tersedia. Ketersediaan BBM yang sedikit (kelangkaan) inilah yang menjadikan BBM dikategorikan sebagai barang ekonomi. Adapun bahwa BBM dibutuhkan (permintaan) oleh semua negara adalah faktor yang menjadikan harga BBM mahal. Sesuai dengan bunyi hukum permintaan “tingginya jumlah permintaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan akan membuat harga suatu barang menjadi mahal”. Kelangkaan BBM ini juga merupakan salah satu faktor utama terjadinya perdagangan internasional. Negara yang tidak mempunyai ladang minyak akan mengimpor minyak dari negara penghasil minyak guna melaksanakan kegiatan industri di negaranya. Seperti diungkapkan di atas, karena jumlahnya yang sedikit dan permintaan yang banyak maka harga BBM di pasaran internasional akan lebih mahal daripada di pasar domestik. Menghadapi kenyataan ini maka seringkali negara penghasil minyak dilanda kebingungan antara menjual ke luar negri untuk meraup untung banyak atau tetap menjual di dalam negeri, tapi dengan keuntugan yang lebih sedikit. Hilangnya kesempatan untuk meraih harga yang lebih tinggi semacam ini dalam ekonomi dikenal dengan istilah opportunity cost.
Indonesia sendiri, yang merupakan salah satu negara penghasil minyak menghadapi dilema yang sama. Apakah akan menjual minyak lebih banyak keluar negeri ataukah tetap menjaga ketersediaan minyak di dalam negeri? Karena pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka dengan sendirinya kemaslahatan rakyat yang menjadi orientasinya dan orientasi murni produsen (untuk selalu mencari keuntungan harus) harus dikekang. Kemaslahatan ini tidak lain dilaksanakan dengan mengurangi jumlah BBM yang seharusnya bisa di jual ke luar negeri guna menjamin ketersediaan pasokan BBM di dalam negeri. konsekuensinya keuntungan yang diperoleh pertamina menjadi lebih kecil dari keuntungan potensial (yang seharusnya didapat). Keuntungan yang hilang (opportunity cost) inilah yang oleh ekonom Indonesia yang belajar di Amerika (Berkeley) sana diterjemahkan sebagai subsidi.
Jadi sebenarnya arti kata subsidi ketika dirangkai dengan kata BBM, bukan lagi arti sebagaimana yang ada di kamus. Subsidi ini juga bukan berarti “kebaikan pemerintah” yang mau menganggarkan sebagian dari penerimaannya untuk ikut nalangi harga yang mesti dibayar oleh rakyat, sehingga harganya akan lebih murah. Sebab pada kenyataannya praktek Subsidi BBM memang tidak demikian adanya.
Lucunya pemerintah kemudian memakai logika opportunity cost ini dalam penyusunan APBN. Atau dengan kata lain pemerintah menghitung uang yang sebenarnya tidak ada dan tidak nyata sama sekali. Belajar dari mana sebenarnya orang yang duduk di kabinet matematika seperti ini?
Istilah subsidi juga seringkali diikuti dengan berbagi pro dan kontra seputar perlu dan tidaknya subsidi dalam suatu perekonomian dan apakah subsidi membuat kegiatan ekonomi semakin efisien atau sebaliknya? Bagi mereka yang populis dan prorakyat, subsidi jelas dibutuhkan. Lain halnya kalau pertanyaan ini diajukan pada ekonom golongan neoliberal maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut mereka subsidi adalah suatu distorsi dalam perekonomian sehingga harus dihapuskan. Para pengagung mekanisme pasar yang juga pengidap “alergi” intervensi pemerintah ini menilai subsidi adalah kebijakan yang sarat diskriminasi karena melindungi produsen dalam negeri dari serbuan barang impor.
Mereka yang berasal dari kalangan ini biasanya menuntut penyesuaian harga BBM di dalam negeri terhadap kenaikan harga BBM di pasaran internasional. Jadi, masih menurut logika mereka, katakanlah pada saat harga minyak di pasar internasional adalah 140 US$ per barel, maka harga BBM di tanah air harus ikut naik menjadi sekitar10-15 ribu per liter. Sebab kata mereka jika hal ini tidak dilakukan maka defisit APBN akan semakin besar (menut Ilene Grabel anggaran berimbang adalah salah satu isi dari tiga komponen neoliberal). Padahal Jika ini sampai dilakukan maka bisa dipastikan sektor riil yang akan kejang-kejang bahkan mati. Efek dominonya pengangguran akan semakin membengkak dan masalah sosial akan semakin menjamur di pertiwi.
Yang punya pemikiran penghapusan subsidi dan penyesuaian harga BBM dengan harga di uar negeri saat harganya melambung jelas orang yang sangat tidak paham dan tidak peduli dengan kondisi rakyat Indonesia pada umumnya. Bagi mereka, mungkin observasi partisipatif, usulan yang diajukan Ishak Rafick adalah sesuatu yang pantas mereka coba. Sebab mereka tidak mungkin bisa sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya menjadi bagian ekonomi lemah hanya dengan melihat berita TV di ruangan ber-AC atau membaca koran pagi sambil menyeduh teh hangat. Kiranya jika para penggagas penghapusan subsidi ini melaksanakan observasi partisipatif barulah pandangan mereka akan berubah.
Soal penyesuaian harga minyak, dulu pemerintah menjadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai alat legitimasi untuk melakukan sedikit penyesuaian. Alasannya juga yang tidak rasional itu tadi, agar defisit APBN yang disebabkan subsidi bisa dikurangi. Lalu ketika harga minyak dunia turun drastis pemerintah malah seolah enggan untuk cepat melakukan penyesuaian. Padahal iklim ekonomi menuntut adaptasi berupa penurunan harga BBM, sebelum badai krisis finansial global, yang dampaknya mulai terasa di Indonesia, semakin menjadi. Jika pemerintah kembali beralasan bahwa penurunan harga ini kemungkinan besar hanya bersifat sementara, sebab harga minyak tergolong elastis, maka sebenarnya alasan ini juga tidak dapat bisa diterima. Pengamat perminyakan, Kurtubi juga mendukung penurunan harga minyak sampai harga keekonomiannya yaitu Rp 4.500. Bahkan menurut kalkulasinya, jika OPEC memang ingin kembali menaikkan harga minyak dengan mengurangi produksinya secara massal, katakanlah sampai 1,5 juta barel, maka harga minyak hanya akan ada di kisaran 60-70 per barel. Sehingga, umpama subsidi BBM benar-benar ada, harga BBM harus tetap turun. Fungsinya sebagai stimulus bagi sektor riil dan untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
Selain itu pemerintah juga kerap mengalasani keengganan mereka menurunkan harga BBM dengan dalih bahwa selama harga minyak dunia naik, subsidi yang harus “dibayar” oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp 100 Triliun. Hal ini memang benar adanya, akan tetapi pemeritah juga harusnya jeli bahwa kondisi sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang masalah yang dihadapi pemerintah adalah perekonomian yang mengarah ke resesi. Ini ditandai dengan menjamurnya PHK dan banyaknya perusahaan (ekspor) yang terancam gulung tikar karena tak ada order dari luar negeri. Jadi sekali lagi penurunan harga BBM bagaimanapun juga adalah suatu keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Selain itu karena BBM juga menyangkut hajat hidup orang banyak maka kebijakan yang populis dan prorakyat jelas lebih pas. Penurunan harga BBM dan subsidi termasuk kategori ini.wallahu a’lam bi al shawab


Imam Ghazali, Teman!


(Surat Untuk Temanku di Solo)
Imam ghazali kawan!tentu kalian kenal benar dengan ulama yang satu ini. Karenanya aku ingin tulisan ini diluruskan jika memang sekiranya itu harus dan perlu.Sebab aku, yang sangat jatuh hati pada pemikiran dan sosok ghozali ini adalah seorang mahasiswa Ekonomi. Jadi masalah seperti ini sama sekali bukan teritorialku. Atau dalam bahasa Andrea Hirata, aku “tidak punya wewenang ilmiah” untuk berceloteh tentang ini.

Nama lengkap ulama kelahiran Thus, suatu distrik di Khurasan, ini adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Banyak julukan yang tersemat pada Ghazali, diantaranya adalah hujjatul islam dan an-nadzar. Julukan ini terkait dengan kepiawaian beliau dalam masalah logika. Beliau banyak sekali menyangkal pendapat (syubhat) para filosof non muslim yang ditujukan untuk disusupkan ke dalam (aqidah) agama islam. Hebatnya lagi beliau menggunakan bahasa (istilah) yang juga mereka pergunakan.
Aktivitas beliau ini, yang dikenal sebagai munadzarah ini adalah salah satu bentuk dari perdebatan yang kita kenal. Hanya saja jelas debat ala Ghazali dengan para kompetitorya bukanlah debat ala kusir. Namun, yang jelas salah satu sisi yang paling menonjol dari debat adalah adu argumen, atau kalau di Jawa identik dengan eyel-eyelan ilmiah.
Lalu apa kaitan ghazali dengan kalian (kawan-kawanku)?Hubungan genetis jelas tak mungkin, sekalipun dipaksakan. Namun, walaupaun mungkin bagi orang lain hal ini terlalu dipakasakan, ada satu benang merah yang bisa kita tarik dari sosok Ghazali. Bukan hanya apa yang beliau tuliskan dalam Ihya’-nya, Tahafutul Falasifahnya, Mi’yarul ‘Ilminya atau sejemblek-jumblek karangan lain beliau. Benang merah yang saya maksudkan disini adalah cara berpikir Ghazali , bagaimana menjadi seorang yang kritis dan ngeyelan selama argument yang kita pegang rasional dan juga kuat.
Dalam suatu rapat misalnya, jika ada orang yang agak ngeyelan, jangan lantas dianggap dia egois dan tidak bisa mengerti kalian. Bolehlah kalian beri dia stempel ini tapi setidaknya setelah kalian teliti dulu gagasan yang ia lontarkan. Rasionalkah? Benarkah? Aplikatifkah? Atau justru sebaliknya? Kalau memang tidak rasional sama sekali dan cenderung konyol maka tak perlu alasan untuk menolaknya. Namun jika kalian telah menilainya (dengan obyektif) dan yang kalian temui adalah kejadian yang pertama,maka saya rasa kalian tahu apa yang harus dilakukan.
Jika kalian bertanya bukankah Rasulullah pernah bersabda al’ishmatu ma’al jama’ah? Tidak salah memang, jika pendapat banyak orang seringkali merupakan cerminan kebenaran. Namun sekali lagi hanya sebatas sering, jadi tidak selalu. Apalagi sekarang ini. Siapa yang tak kenal dengan istilah konspirasi, bukankah konspirasi walaupun mulanya hanya dari segelintir orang yang punya kesamaan gagasan, namun dalam jangka panjang akarnnya akan semakin bercabang. Mirip multilevel marketing (MLM) barangkali.
Jadi bersikap adillah terhadap pemikiran orang lain, hanya jangan karena dia tidak sekata dengan kalian maka dengan mudah kalian memberondongnya dengan pernyataan stereotip dan stigma negatif. Islam juga mengajarkan ini (berlaku obyektif). Rasullullah dan Imam Ghazali mempraktekkannya. Jadi apa tidak sebaiknya kita memulainya sekarang? Berlaku obyektif terhadap pemikiran orang lain.

Senin, 19 Januari 2009

Maaf, Hanya Tujuh Lembar

“Sobat,maaf ! “. Aku jujur telah berbohong kemarin, saat kukatakan aku telah selesai menulis untukmu. Hingga hari ini kutulis ulang, dengan niatan merampungkan, aku baru menulisinya satu lembar. Itupun belum penuh.
Entah mengapa tiap kali ku buka buku itu, selalu saja ada kebingungan yang menyergap pikirku, membelenggu tanganku dan membekukakan imajiku. Kebingungan akan apa yang harus aku tuliskan untuk orang sepertimu. Entah berapa minggu berlalu sejak kuterima buku itu darimu. Baris-baris ksong masihh saja menghampar. Masih putih polos.tanganku belum bisa bergerak tuk sekedar menuliskan satu dua kata. 9 lembar yang ia jatahkan entah karena sihir apa mampu membuat penaku macet, tersendat untuk menulis apapun.
Dan itupun baru tadi sobat, saat aku menemukan sesuatu yang pantas untuk mengawali tulisan ini. Dan taukah kau, sobat , apa itu? Yang mebebaskan anganku, melepas belenggu tanganku dan mencairkan imajiku adalah kejujuran. Ya kejujuran sobat.
Jujur untuk bertutur tentang sejumput kisah yang aku gembalakan dengannya di sabana persahabatan. Sabana yang dihamparkan tuhan dua tahun lalu. Kala langit solo penuh denan gemintang. Malam persami itu.
Masih ingatkan dengan waktu itu? Ketika langit solo penuh bintang. Milyaran! Jumlah yang sama dengan tanda Tanya yang menyembul di langit-langit hatiku. Tanya yang harus ada karena akhirnya ku tersesat di solo ini.
Tapi sobat,malam ini tuhan menghapus satu tanda Tanya yag ada ddalam hatiku. Mengapu “kenapa” yang kemarin lusa selalu menyibukkanku. Walau hanya satu tapi itu bermata rantai. Suatu putaran tanpa ujung. Dan saat itu adalah saat mata nakalku melirik ke barisan cewek yang duduk di ujung sana dan terhenti saat terarah pada sosok beroptik. Aku ingat senyumnya, lesung di pipi dan frame kacamata yang khas.


Belajar Dari Setan (Merah)

Dalam dunia modern, sepakbola telah berevolusi dari yang semula sebatas olah raga menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Hampir semua Negara maju mempunyai sepakbola yang maju. Tercatat hanya ada beberapa Negara berkembang yang punya kualitas sepakbola sebanding dengan Negara maju. Namun jika sudah memasuki bisnis sepakbola maka tak bisa disangkal bahwa Negara berkembang sekaliber Brazil (juara piala dunia terbanyak) sekalipun, tidak secanggih negara maju dalam menjadikan sepakbola sebagai bisnis. Sebagai bisnis tentunya sepakbola membutuhkan pasar sebagai tempat pengeruk kekayaan. Negara berkembang yang punya banyak jumlah penduduk tinggi adalah sasaran utamanya. Indonesia termasuk kategori ini.
Pihak MU,salah satu orang dalamnya pun mengakui dengan blak-blakan bahwa alasan MU mampir di Indonesia adalah karena banyaknya fans yang ada disini. Fans kalu diterjemahkan dalam istilah ekonomi bisa berarti pasar. Juga, kalau diamati, touring yang diadakan oleh banyak klub terkenal selalu menjadikan negara kawasan Asia dan Afrika sebagai tujuannya. Jarang sekali mereka menjadikan Brazil, Argentina atau negara lain dengan sepakbola maju sebagai tujuan. Padahal Negara-negara tadi sama-sama termasuk negara berkembang. Alasannya tadi, sebab negara-negara tersebut punya sepakbola yang bagus. Bahkan pemain-pemain dari negara tersebut adalah incaran talent scout klub –klub besar eropa (negara maju).
Adapun Indonesia yang akan kedatangan MU Juli nanti, merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk tinggi dan kondisi persepakbolaan yang sangat tidak memprihatinkan. Membaca sejarah sepakbola Indonesia seperti menerima surat panjang sekaligus memalukan. Hampir semua aspek dalam sepakbola punya rapor merah. Mutu dan skil pemain rendah, tidak profesional dan sangat minim sportivitas. Bahkan seringkali terkesan bahwa pemain bola Indonesia lebih pas jadi atlet karate atau tinju. Anekdot ini merujuk pada banyaknya kekerasan yang terjadi antar pemain, bahkan belakangan kerap melibatkan official klub dan wasit. Soal kelakuan supporter tidak usah dijelaskan bagaimana parahnya. Perhatian tehadap fasilitas pendukung utama sepakbola seperti stadion pun sangat minim. Padahal logisnya, kalau ingin maju sepakbolanya, harusnya disediakan fasilitas yang lebih mendukung. Jadi kalau Juli nanti banyak pemain utama MU yang enggan merumput di Indonesia jangan salahkan mereka, sebab memang masalahnya ada pada kita, yaitu kondisi stadion yang tidak sesuai standar.
Terlepas isu-isu di atas, sisi utama dari mendatangkan MU ke Indonesia adalah untuk menimba ilmu sepakbola dari mereka. Yang pasti mengenai teknik bermain di lapangan hijau dan kalau bisa manajemen pengelolaan klub yang professional. Terkait teknik yahud di lapangan tentunya tak lepas dari pembinaan usia dini. Jika dalam dunia normal tanah merupakan asset. Lain halnya dengan sepakbola. Aset yang paling berharga dalam sepakbola adalah pemain muda. MU termasuk klub yang sangat memperhatikan hal ini. Akademi sepakbola MU merupakan salah satu yang terbaik di dunia. David Beckham adalah buktinya. Kepedulian MU akan pembinaan bakat juga terlihat saat MU menawarkan pemain yang sudah berusia uzur seperti Edwin van der Saar, Paul Scholes dan Ryan Giggs untuk mengabdi di akademi MU. Tujuannya jelas agar skill mereka diwariskan pada generasi muda yang sedang menimba ilmu di akademi.
Klub-klub peserta Indonesia Super League atau akrab disingkat ISL yang seharusnya antusias dengan kedatangan MU sebaiknya jangan salah kaprah perihal banyaknya pemain non Inggris yang kerap bercokol di starting line up MU. Toh pun begitu, MU tetap mengimbanginya dengan pembibitan usia dini seperti dipaparkan di atas. Jika hal ini yang diadopsi oleh klub peserta ISL justru pada akhirnya sepakbola nasional akan semakin merana. Dengan banyaknya legiun asing yang didatangkan, pemain lokal, terutama yang berusia muda akan sulit berkembang. Sebab selama ini para pelatih klub-klub peserta ISL lebih suka dan percaya diri dengan pemain asing ketimbang mengasah pemain lokal. Padahal jika mau melek fakta, kebanyakan pemain asing yang ada di ISL telah beralih fungsi. Dari yang semula ditujukan untuk mengajari pemain lokal bagaimana cara bermain bola yang baik, bergeser menjadi biang kerok keributan. Jika ingin tujuan tadi dicapai sudah seharusnya aturan mengenai kualitas minimal pemain asing di tingkatkan. Jangan mereka yang bermain di divisi 3 yang kita undang untuk bermain di tanah air. Asumsi bahwa mereka yang beda warna kulit dan mata selalu lebih pandai bermain bola ketimbang kita yang berkulit sawo matang juga harus dibuang jauh-jauh.
Selain masalah pembibitan pemain, ilmu lain yang harus dipelajari dari MU ini adalah bagaimana mengelola klub secara profesional, sehingga selain sukses meraih banyak prestasi dan reputasi juga sukses secara finansial. Hampir setiap laporan mengenai daftar klub terkaya di dunia dirilis, MU selalu nangkring di posisi lima besar. Kalau ditelusuri, prestasi, reputasi dan aspek finansial sebenarnya sangatlah bertalian erat dengan pembinaan pemain di usia muda. Logikanya sederhana, jika punya pemain bagus maka besar kemungkinan prestasi akan ikut bagus dan dengan sendirinya reputasi akan mengkilap. Melihat ini investor mana yang tidak ingin ikut tanam saham dan perusahaan mana yang tidak ingin bekerjasama?
Jika ingin seperti membuat klub seperti MU berarti adalah kesiapan untuk meniru laku yang selama ini ditempuh MU. Ditambah kemampuan untuk berpikir jernih guna memilah dan memilih mana konsep yang benar-benar bisa diterapkan di Indonesia tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Namun pengembangan pemain muda, pengelolaan klub dengan profesional, peningkatan kualitas fasilitas tidak akan punya pengaruh signifikan tanpa didukung regulasi yang mendukung. Artinya harus ada upaya sinergis dari semua kalangan pecinta sepakbola di tanah air dan komitmen yang kuat untuk memajukan sepakbola nasional.



Bunga Sejiwa


Angin dhhuha ini syahdu mendayu
Membelai dedaunan kamboja searah mata
Tapa bunga
Getarannya gemerisik, lembut menyapa kalbu

Ia bertutu simfoni suatu masa
penantiannya akan bunga sejiwa
Yang setia dan dia setia
Bukan yang meranggas semusim lalu
Daunnya hijau, dalam, lekat selekat tekadnya
Tak kan merantas, meranggas atau terhempas
Ia menyeru…
Tanpa kata
Liukannya mengisyarat mata
Isyaratnya bimbang namun bahagia
Tentang bunga yang berkuncup di jiwa
Adakah ia bunga sejiwa?
Adakah ia yang dijanji Tuhan?
Bunga surga yang sejiwa



Kamis,13 Oktober 2007


sependar cahaya


Di tapal batas yang senyap
Saat dari bilik hati asa beranjak
Senja tak lagi merah merayap

Gugup menyambut
Kawanan mega pekat
Aku duduk lanyut dalam imaji
Di sabana sepanjang mata mimpi
Ketika sependar cahaya
Menghampiriku,
Datang
Minggu, 10 Agustus 2007


Jumat, 16 Januari 2009

Sandaran Hati : Senandung Untuk Tuhan


Reformasi di Indonesia ternyata tidak hanya sebatas pada dunia politik. dunia musik pun ternyata juga mendapat pengaruh positif dari reformasi. Kebebasan berekspresi yang dituangkan dengan musik berkembang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya aliran music yang mendapatkan ruang dalam masyarakat. Sambutan masyarakat dari berbagai lapisan terutama terwujud dalam banyaknya musisi baik solo maupun yang terafiliasi dalam suatu kelompok musik (grup band) baru. Letto adalah salah satu grup band yang dilahirkan
dilahirkan dalam kondisi ini. Komposisi yang unik dari masing-masing punggawanya serta kedekatannya dengan Kyai Kanjeng menjadikan Letto berani untuk menampilkan sesuatu yang beda dalam musik mereka, terutama terkait nuansa, semangat dan muatan lagu-lagunya.
Dalam lagu-lagu yang ada dalam album pertamanya, Letto memang benar-benar menampilkan sesuatu yang beda. Musik Indonesia yang selama ini didominasi dengan tema seputar romantisme dan percintaan, coba dihiasi oeh Letto dengan mengangkat masalah agama (khususnya ketuhanan) sebagai tema. Namun, hebatnya lagu-lagu ini dikemas dengan bahasa yang sederhana, tidak terpaku pada puitisasi, dan sangat mengena. Salah satu lagu dalam album pertama Letto yang punya karakteristik diatas adalah lagu yang berjudul Sandaran Hati. Sepintas lalu lagu ini seperti umumnya lagu di Indonesia yang mengangkat masalah percintaan sebagai tema. Akan tetapi jika ditelusuri dan diresapi, lagu ini memuat pesan bahwa jika manusia mau merenungi sejenak keberadaannya di dunia, akan didapati bahwa manusia sangatlah dekat dan senantiasa membutuhkan Tuhan. Atau sesuai dengan bahasa Letto , Tuhan sebagai sandaran hati yang hakiki.
Sandaran Hati : Senandung untuk Tuhan
Letto, sebagaimana musisi lain memang piawai menyembunyikan maksud di balik kata-kata yang menyusun suatu lagu. Dalam lagu sandaran hati ini, terutama pada baris pertama akan sangat sulit dideteksi bahwa inti dari lagu ini adalah kerinduan akan Tuhan. Pada baris pertama Noe , vokalis Letto yang menciptakan lagu ini, memulainya dengan suatu pertanyaan yang ditujukan kepada pribadi “yakinkah ku berdiri dihampa tanpa tepi?”. Pertanyaan memang redaksi yang sangat lazim dalam setiap suatu karya sastra, baik itu music ataupun bukan, tertulis maupun lesan. Kelaziman ini tidak lantas menjadikan lagu ini bernilai biasa. Justru penulis menilai bahwa Noe sangat paham akan keefktivitasan bentuk kalimat Tanya untuk menyampaikan maksud lagu ini pada para pendengar. Apalagi kalimat Tanya ini diajukan pada diri sendiri, yang berarti menuntut agar para pendengar melakukan semacam dialog pribadi yang dilanjutkan dengan kontemplasi. Tujuannya kurang lebih agar manusia paham tentang siapa sebenarnya dirinya. Sebab kalau dilihat dari segi waktu baik masa penulisan lagu maupun launchingnya, maka lagu ini dilahirkan ditengah demoralisasi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga menurut hemat penulis wajar jika Letto ingin mengajak para pendengarnya untuk menyadari hakikat kemanusiaannya. Caranya dengan menggunakan kalimat tanya yang dampak psikologisnya lebih terasa dan bersifat persuasif, daripada menggunakan bentuk kalimat berita atau perintah.
Setelah mengenal dirinya, dan tentunya setelah mengajukan sejumlah peertanyaan filosofis tentang diri dan kehidupannya maka akan timbul semacam pertanyaan mengenai siapa dzat yang telah menciptakannya. pertanyaan ini terekam dengan jelas dalam terusan syair diatas yang berbunyi ” bolehkah aku mendengarmu?.”. Mengenai kata ganti mu yang ada di sepanjang lagu ini juga ada sesuatu yang sangat menarik. Hampir semua kata ganti (pronominal –mu) tidak ditujukan siapa empunya secara spesifik. Apakah itu manusia atau dzat yang Maha tinggi? Gaya bahasa yang semacam ini dalam seni sastra Arab seringkali dikenal dengan istilah tasywiq.(Hasyimi,1982). Terjemah harfiahnya kurang lebih menimbulkan rasa penasaran.
Reff lagu, yang selalu diulang biasanya merupakan inti dari pesan yang ingin disampaikan pencipta lagu pada para pendengar. Dalam reff lagu sandaran hati terdapat repetisi, pengulangan kata “teringat ku teringat”. Adapun fungsi repetisi diantaranya adalah untuk memberikan penekanan yang lebih akan makna. Merunut pada hal ini maka akan ada dua penekanan terhadap makna. Pertama yang dihasilkan oleh reff, yang juga merupakan bentuk pengulangan terhadap keseluruhan suatu bait dalam lagu. Kedua adalah penekanan yang dihasilkan oleh repetisi yang ada dalam baris pertama. Dari sini terlihat bahwa makna yang ingin disampaikan adalah pentingnya kesadaran akan hakikat kemanusiaan dan kedekatannya dengan Tuhan .
Bait ini bagi penulis, juga mirip kesimpulan dari suatu silogisme . Premis awalnya ada pada kalimat tanya yang ada di bait pertama. Premis keduanya tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks akan tetapi harus dipahami dari beberapa kalimat sekaligus. Sedangkan kesimpulannya ada pada kalimat “teringat ku teringat” ini.
Kalimat “teringat ku teringat” diteruskan dengan kalimat “pada janjimu kuterikat,hanya sekejap ku berdiri kulakukan sepenuh hati”. Pronominal –mu sperti pada kata janjimu inilah yang penulis maksudkan dengan bersifat ambigu sekaligus ambivalen. Bisa ditujukan kepada manusia ataupun Tuhan. Akan tetapi ambivalensi dan ambiguitas ini sebenarnya tereduksi begitu saja dengan dihadirkannya kalimat “hanya sekejap ku berdiri”. Silogisme lagu ini akan terasa janggal dan tidak valid jika pronominal ku ditujukan untuk menggantikan manusia. Sebab sangat jarang ditemui manusia yang hanya merelakan sedikit waktu dan melakukan sedikit pengorbanan untuk orang yang dijadikannya sebagai sandaran hati (bersifat kasuistis). Ditambah dengan konsekuensi kalimat kulakukan sepenuh hati, sehingga jelas bahwa pronominal –mu dalam lagu ini ditujukan untuk Tuhan.
Setelah pronominal -mu dimaknai sebagai Tuhan, maka makna dari reff lagu ini kurang lebih akan seperti berikut. Manusia seringkali tersesat dan menjadi jauh dari Tuhan, kealpaan ini disebabkan manusia tidak lagi mengenal hakikat kemanusiaannya. Konsekuensinya manusia hanya akan melakukan sedikit kewajibannya terhadap Tuhan (ibadah semisal sholat) . Padahal pemenuhan kewajiban ini tidak memerlukan banyak waktu (dalam bahasa Letto “hanya sekejap ku berdiri”), akan tetapi masih saja tidak dilakukan dengan tulus (kulakukan sepenuh hati).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Letto merupakan salah satu grup band baru yang mencoba memberikan warna baru bagi dunia musik Indonesia. Lagu sandaran hati merupakan salah satu lagu dari album pertama Letto yang dengan sangat jelas memuat semangat keagamaan. Tema dan pesan yang diangkat pun bukan sembarang tema, melainkan tema ketuhanan. Tema yang selama ini dirasa sulit, diungkapkan oleh Letto dengan bahasa sederhana dan dengan bahasa yang sedikit mengandung ambiguitas. Namun kesederhanaan bahasa ini tidak yang tidak mengurangi makna. Justru memberikan nilai lebih, karena lagu ini akan bisa dipahami oleh banyak kalangan dan pesannya yaitu bahwa manusia adalah mahluk yang sangat dekat dan senantiasa butuh terhadap Tuhan menjadi sangat relevan dengan pemahaman kebanyakan orang.


Bukan Kemalasan, Hanya "Kenakalan Intelektual"

Bukan sekali saja saya mengajak banyak teman untuk menunaikan sholat. Tapi sayang, hasil nihil yang paling sering saya dapati. Jika mereka menjawab, paling yang keluar dari mulut mereka sebatas “titip ya!” atau “jangan lupa doakan aku ya!”. Itupun dengan raut muka tanpa dosa (yang entah mereka kenal atau tidak). Atau belakangan ini mereka akan menjawab dengan sangat percaya diri “kami sholatnya nanti kalau kami sadar, biar bisa ikhlas dan khusyuk”. Alasan ini bagi saya sangatlah menarik sebab ternyata mereka juga tahu bahwa sholat sangat membutuhkan kesadaran dan keikhlasan agar bisa diterima oleh Allah. Jadi keengganan mereka untuk tidak sholat, bukan sebatas dikarenakan kemalasan mereka, melainkan lebih dikarenakan “kenakalan intelektual” mereka. Dan alasan mereka pun, menurut saya, terbilang lumayan rasional. Setidaknya memang demikian (bahwa ibadah harus didasari keikhlasan agar diterima) yang mereka sering dengar dalam berbagai ceramah dan khotbah (yang mereka ikuti).

Dalam ibadah semisal sholat, keikhlasan memang syarat utama. Sambal tanpa cabe kiranya jika ada ibadah yang tak didasari keikhlasan. Jadi alasan teman-teman saya yang tidak sholat itu benar? Sampai disini benar, tak ada yang salah. Sebab ulama, apalagi yang tergolong ahli tasawuf hampir semuanya seiya sekata untuk menjadikan keikhlasan sebagai syarat mutlak diterimanya ibadah, termasuk sholat. Tanpa keikhlasan, kata mereka (ulama) ibadah mardudatun la tuqbalu. Tidak diterima sama sekali. Imam Ghazali ketika ditanya mengenai mana yang lebih penting sholat berjamaah di masjid tapi tidak khusyuk ataukah munfarid di rumah tetapi disertai kekhusyukan? Beliau dengan tegas memilih sholat dirumah yang disertai kekhusyukan, ketimbang di masjid tapi tidak khusyuk.

Kekhusyukan dalam beribadah memang sangat erat kaitannya dengan keikhlasan dan kesadaran. Bahkan hubungan keduanya bisa dikatakan berbanding lurus. Yang menjadi masalah dari alasan teman-teman saya sebagai alat untuk melegitimasi mereka untuk tidak sholat sebenarnya ada pada kata “nanti”. Maksudnya mereka cenderung pasif dan pasrah bongko’an dalam hal kesadaran ini. Mereka lebih memilih untuk menunggu kesadaran datang dengan sendirinya ketimbang berusaha menumbuhkembangkannya. Apakah mungkin kesadaran datang dengan sendirinya? Bagi saya mungkin, hanya saja kemungkinan itu sama seperti kemungkinan batu yang anda sentuh bisa berubah jadi emas. Atau dengan kata lain sangat kecil kemungkinannya. Yang bisa mengubah hal ini dari yang asalnya sebatas probabilitas untuk mejadi realitas pun hanya ada satu. Imam gazali membahasakan hal tunggal ini sebagai ilham ilahi. Sampai disini alasan tadi menjadi tidak sesederhana yang didengar. Sebab ilham ilahi tidak dimandatkan pada sembarang orang. DR. Sa’id Ramadan Bouty , saat mengulas Hikam ibn ‘Athoillah (The Ata’i’s Aphorisms) menjelaskan bahwa ilham ilahi atau hidayah ini hanya akan dimandatkan pada orang-orang yang benar-benar bertakwa.

Jika takwa didefinisikan sebagai menjalankan semua perintah Allah dan menjauh dari semua larangan-Nya. Sedangkan sholat termasuk salah satu perintah Allah yang wajib dilaksanakan dan dilarang keras meninggalkannya (bahkan beberapa ulama berpendapat ekstrim dengan menghalalkan darah mereka). Lalu bagaimana jika ada orang yang enggan menunaikan sholat, sembari berharap dia akan dihampiri ilham atau hidayah tadi? Apakah mungkin? Pembaca lebih bisa menjawab.

Kesadaran bukanlah hal yang bisa tumbuh dengan sendirinya. Daripada mirip rumput, kesadaran lebih mirip dengan padi yang harus sengaja ditanam, dijaga dan dipelihara agar bisa dipanen hasilnya. Salah satu cara yang paling efektif untuk menanamkan kesadaran adalah dengan pemaksaan. Jauh hari Imam Bushayri dalam qashidah Burdahnya sudah memberi kita alternatif ini. Beliau membuat metafor yang sangat baik perihal pemaksaan ini. Menurut Imam Bushayri “hawa nafsu seperti halnya anak kecil yang jika tidak disapih secara paksa dari ibunya maka dia akan tumbuh ditetek ibunya”. Walaupun metafor ini ditujukan untuk hawa nafsu bukannya penumbuhan kesadaran, saya rasa hal ini tidak lantas menjadikannya tidak relevan dengan masalah pemaksaan untuk menumbuhkan kesadaran. Hanya saja ketika pemaksaan (untuk sholat) ini hanya datang dari pribadi kemungkinan suksesnya akan sangat kecil. Sebab harus diakui bahwa manusia seringkali terlalu longgar pada mereka sendiri. Dalam kondisi seperti inilah peran dari lingkungan sangat dibutuhkan terutama dari mereka yang punya bargaining position yang kuat. Pemaksaan ini tidak harus dipahami sebagai legitimasi untuk bertindak kekerasan. Mungkin cukup dengan menciptakan iklim yang tidak kondusif baginya jika meninggalkan sholat. Misalnya dengan sindiran,teguran dan ajakan yang intensif pada mereka.

Jika sudah berhasil ditanamkan, kesadaran haruslah dijaga. Dengan apa? Rutinitas atau pembiasaan. Karenanya juga sholat disyariatkan untuk dilakukan setiap hari lima kali. Isinya pun penuh dengan repetisi atau pengulangan. Tujuannya agar kesadaran itu tetap terjaga.

Kalaupun kesadaran dan keikhlasan tetap gagal menyertai ibadah, padahal sudah melewati tahapan penanaman dan penjagaan, haruslah diingat bahwa ketika kita melaksanakan sholat (tanpa keikhlasan) sudah jauh lebih baik daripada tidak sholat sama sekali. Setidaknya peluang kita untuk mendapatkan ilham ilahi menjadi terbuka.