Kamis, 13 Mei 2010

Ingin Terus Kau Sambangi


kanjeng Nabi....,
mengapa mendadak aku rindu sosokmu? ?

tapi Nabi,....
rinduku ini
yang seperti ini
temporal saja,
selalu begitu.
meski ia -kadangkala-
bisa berpangkat, berlipat ganda dalam entah berapa bilangan eksponensial
hingga yang terasa saat itu, betapa rindu membuncah dan menggelegak di dalam sana

meski begitu........rinduku padamu Kanjeng Nabi.
tak butuh waktu lama untuk terkulminasi
untuk kemudian mengalun, menukik, menghantam dasar
hingga akhirnya pecah berkeping dan teronggok di lubuk hati
hingga hati ini pun lupa
bahwa pernah rindu sedemikian rindunya
bahkan pernah mendaku rindu

hati ini duh kanjeng Nabi..
yang kali ini mengaku rindu,
ringkih sekali...
sungguh ringkih

bolehkah saya matur, Kanjeng?
sebelum lupa kembali datang

bahwa hati ini ringkih, lemah, manja dan rentan sakit
bahwa hati ini tak begitu ingin diobati,
tak begitu memilih untuk dikuatkan

hati yang ringkih ini, Kanjeng
......................................ingin terus kau sambangi.









Semoga Doa bukan Prasangka


"Tuhan,
sudah lama aku tak berdoa
saya takut itu prasangka
saya takut itu menuduh Panjenengan

yang tadi itu,
Aku mengilusi mata mereka
menunjukkan telaga fatamorgana
Aku membisikkan kembang
mendayagunakan lidah tak bertulang

yang tadi itu,
Hanya rutinitas tak berbekas
hanya ritual yang ku apal

"innahum yakiduna kayda waakidu kayda"
(aku), dan "mereka melakukan tipu daya. padahal Allah lebih pakar melakukannya".

aku sudah sedemikian ceremonialnya
tapi Tuhan,... mereka menyukainya.
adakah syukur wajib atas yang seperti ini?

Soal doa, Tuhan...
tak ku haturkan saja.

entah pinta, entah duga prasangka
Panjenengan Maha tahu.
juga soal kealpaan, kemangkiran dan mbolosnya saya dari berdoa.
saya ngalap cukup dulu bi "ud'uni astajib lakum".

wallahu a'lam bi al-shawab

*Mancasan kidul,12 Mei 2010*
[ini hasil kontemplasi saya. Dan maaf baru sampai reformasi diri, belum nyendak reformasi negara seperti kebanyakan orang. ah....... betapa harus diupgradenya processor hati, kapasitas intelektual, dan kepekaan historis saya. Salut untuk kalian ]

Jumat, 30 April 2010

Bakat (Kyai) NU


Sudah hampir sepekan kiranya media massa nasional mendadak “hijau”. Dari Makassar,tempat muktamar Nahdlatul Ulama (NU) digelar, Hijau, warna kebesaran NU menyebar ke seluruh nusantara. Eksposure yang semacam ini tentu tidak berlebihan. Mengingat NU adalah jamiyyah terbesar yang ada, tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia. Tentu pertimbangan yang dibuat bukan didasarkan sebatas pada banyak sedikitnya masa yang terafiliasi di dalam NU dan teridentifikasi sebagai nahdliyyin. Kontribusi NU terhadap bangsa dan Negara Indonesia tetap menjadi parameter utama.

Membincangkan kontribusi NU terhadap Negara ini tentu hal yang menggelikan kalau ditujukan sebagai upaya untuk ngundat-undat atau “renumerasi”. Pada kondisi tertentu bahkan sikap bertanya perihal kontribusi NU sama halnya dengan pengalpaan terhadap sejarah. Hanya menunjukkan bahwa kita sedang mengalami amnesti yang sangat parah terhadap sejarah. Sebagai jam’iyyah yang berumur lebih tua dari Indonesia,kontribusi NU terhadap Negara ini tidak perlu diragukan lagi.

Yang menarik ketika menyimak perbincangan NU tentu soal bagaimana seharusnya NU berkontribusi. Apakah terus berada di akar rumput bersama masyarakat. Atau ikut terjun bebas ke dalam percaturan politik (real politic). Pencarian akan jawaban dari pertanyaan ini selalu diiringi perdebatan internal NU, mengundang beragam kritik dari luar, sekaligus memunculkan frase “kembali ke khittah NU”. Frase ini bagi sebagian elite nahdliyyin yang menganggap terjun ke politik praktis sebagai tuntutan zaman, dihadapi dengan dengan gamang. Ada kesan bahwa mereka yang pro politik enggan diberi label “orang yang tak tahu adab” dan “ingkar pada komitmen”. Sebab NU, walau sebuah organisasi namun punya ciri khas berupa penokohan kyai atau adanya figur sentral, bukan sistem organisasinya.

Realita bahwa NU punya masa yang besar dengan kohesivitas yang tinggi merupakan godaan yang paling nyata bagi NU untuk terjun di arena politik praktis. Ditambah suplemen berupa model eleksi di Negara demokrasi seperti Indonesia yang membuat berpolitik semakin menggiurkan. Adapun bobroknya birokrasi Negara ini berperan memanggil “jiwa malaikat” para elite NU yang berasal dari kalangan kyai untuk membenahinya. Barangkali konsepsi kyai atas birokrasi yang baik adalah kata yang sekarang juga sedang booming, good governance. Bukankah kombinasi kesemuanya –yang dalam bahasa Komaruddin Hidayat: adanya kesempatan, rayuan, panggilan dan cita-cita- memang mengafirmasi NU untuk terjun dalam berpolitik?

Namun ada satu hal yang kurang dikalkulasi dengan cermat. Bahwa politik adalah politik. Banyaknya istighosah, kalkulasi modal dan prediksi kemenangan atas dasar potensi (yang belum tentu bisa realisasinya) saja tak cukup untuk memperoleh Gain. Atau jika kalkulasi sudah dilakukan maka terjunnya NU ke “kawah” politik, boleh jadi mengikutsertakan unsur “nekat”. Bagaimanapun juga “tata kelola” yang baik mutlak diperlukan kalau mau berpolitik. Dan, tanpa bermaksud mengecilkan, sepertinya tata kelola (baca: ilmu berpolitik) merupakan problem mendasar dalam NU. Keputusan NU misalnya, untuk merestui PKB sebagai partai tunggal (dengan kelar dari khittah?), terbukti tidak bisa menjadikan PKB (baca:NU) sebagai pemenang, sebagaimana dalam asumsi di atas. Ironisnya partai itu kini malah pecah. Kohesivitas massa NU, yang katanya berkisar 40-60 juta jiwa itu, ternyata hanya berhenti di bawah tratag-tratag peringatan maulid dan majlis istigosah. Naas.

Hubungan NU dan politik memang bukan soal jodoh atau tidak jodoh. Manusia dalam versi aristoteles adalah zoon politicon yang sepadan artinya dengan political animal. Soal bagaimana “si animal” ini berlaku pak Machiavelli punya penjelasan yang bagus di bukunya Il Principe . Bagi bung komaruddin (yang kebetulan tadi bukunya saya baca di Gramedia), hubungan NU dan politik adalah soal reliable dan tidaknya para ulama NU untuk berpentas di panggung politik. Reliable itu dalam benak saya punya kaitan yang erat dengan “kullun muyassarun lima khuliqa lahu” atau “man yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fi al-dien”. Dan sepertinya NU, setidaknya para Kyainya diberi kemudahan oleh Allah untuk bertafaqquh, juga untuk ngemong masyarakat.

Selingan; Tips berkendara di Jogja





Punya tunggangan saat kuliah di jogja memang sifatnya relative. Bisa primer, sekunder atau tersier. Tergantung tiap idividu mahasiswanya. Bagi mahasiswa yang aktif, entah itu studying, clubbing, travelling atau playing, kendaraan seperti motor adalah kebutuhan primer.

Di jogja, yang agak membedakan dengan daerah lain, adalah bahwa yang mutlak dibutuhkan ketika seorang berkendara bukan SIM, STNK atau surat resmi yang lain. Juga bukan pemahaman yang baik terhadap rambu lalu lintas. Sudah rahasia umum kiranya bahwa razia kelengkapan berkendara hanya ada pada tanggal tua dan di jalan-jalan itu saja. Jalan tikus yang ngadug-diug di jogja sudah cukup buat mengatasi “kendala” yang semacam ini.

Yang mutlak anda perlukan adalah ilmu kebatinan yang bagus. Ilmu kebatinan tingkat tinggi. Sebab kultur berkendara, terutama sepeda motor, di jogja, memang seperti itu adanya, menuntut kepiawaian membaca pikiran orang lain yang sedang berkendara. Membaca kapan orang di depan anda akan belok, membaca bahwa perempatan atau pertigaan benar-benar sepi dan menjamin tak akan ada kendaraan lain yang nylonong begitu saja, membaca jika orang di belakang anda akan menyalip secara serampangan, menyalip dari sisi kiri, menyalip dari kanan untuk kemudian secara mendadak belok kanan dan seterusnya dan seterusnya.

Yang perlu anda camkan juga, jangan tergesa memvonis misalnya “bahwa saraf motorik para pengendara motor di jogja korslet, nggeser riting ke kiri dan ke kanan saja tidak bisa!”. Ampun keseso. Ingat Jogja itu “alon-alon waton kelakon”. Dan itu hanya membuktikan bahwa maqam ilmu kebatinan anda belum se-level dengan para pengendara motor di jogja. Perlu diingat juga bahwa “waton” haruss dibedakan dari “aasal”. Sebab, sering juga kita dengar “alon-alon asal kelakon”. Waton tidak mengandung arti spekulasi, ngawur, dan tidak konseptual seperti yang dikandung oleh kata “asal”

Atau kalau anda menganggap ilmu kebatinan terlalu klenik dan tidak bersifat akademik. Maka sebaiknya anda punya keterampilan statistika terapan yang cukup baik saat berkendara di jogja. Namun karena ilmu ini bersifat akademik maka validitasnya ditentukan oleh uji empiric. Dan uji empiric ini tentu saja agak repot. Sebab mau tidak mau harus melibatkan observasi partisipatoris, terjun langsung. Waktu dan perhatian anda akan banyak terkuras untuk ini.

Keduanya, baik ilmu kebatinan tingkat tinggi ataupun keterampilan statistika diperlukan mutlak diperlukan di jogja. Sebab ya itu tadi, akan banyak sekali kejutan. Tambah repot kalau, anda ternyata orang yang tak terlalu sabar.

Menguasai atau setidaknya mengerti sedikit salah satu keduanya urgen sekali di jogja. Namun jika anda tidak suka keduanya, maka MBAWOR adalah opsi terakhir.

Mereview Manthiq sambil Belajar Filsafat



Alhamdulillah ujian telah selesai. Ada banyak waktu luang untuk membaca ulang buku-buku yang telah saya beli. Semula, minggu ini, saya jatahkan untuk mempelajari filsafat bahasa, linguistic dan semantic. Namun karena ada titipan dari pak Lik untuk membelikan beberapa buku, diantaranya logika, saya pun tertarik untuk membuka kembali sullamul munawraq. Ilmu yang dibahas dalam buku (baca; kitab) ini,sepengetahuan saya, tergolong angker di pesantren salaf. Jadi andai, anda mondok di pesantren salaf, jangan harap bisa langsung ngaji kitab ini di tahun pertama.

Tulisan ini adalah rekaman belajar saya, mengulang pembahasan qiyas iqtiraniy (silogisme kategorik). Dan karena saya new beginner dalam ilmu mantiq (ngajinya Cuma sampai anwa’ dalalah), kalau ada yang salah silakan pembaca meluruskan.

Latihan 1
Muqaddimah kubro : Semua bank yang sehat tidak akan mengalami krisis likuiditas
Muqaddimah sughro : Bank Century mengalami krisis likuiditas
Natijah : Jadi bank Century bukan bank yang sehat.

Valid dan sah tidak?

Natijah : Bank Century di-bail out oleh BI
Muqaddimah sughro : Krisis likuiditas Century berpotensi sistemik
Muqaddimah kubro : Bank yang berpotensi menimbulkan krisis sistemik di bail out oleh BI

Valid dan sah tidak?

Dari silogisme
Pemberian dana bail out dalam common sense sarjana ekonomi adalah suatu hal yang lazim dan legal diperuntukkan bagi bank yang mengalami krisis likuiditas dan berpotensi sistemik. Sebab, urutan berpikirnya (baca: prosedurnya) kurang lebih seperti dua silogisme di atas. Adapun indikator ekonomi sewaktu bank itu kesulitan likuiditas adalah konteks, tidak lebih dari data yang multitafsir (silakan kalau mau memainkan “ al’ibrotu bi ‘umum al-lafdzi la bi khususi al-sabab”). Andaipun data itu diolah sedemikian rupa, probabilitas untuk salah tetap ada.
Singkatnya, menurut kaidah logika, jika dana bail out dikucurkan maka selesai sudah urusan Century.

Bahwa logika bersifat kaku adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Kekakuan ini tak lepas dari fakta bahwa logika tidak mengizinkan adanya kemungkinan ketiga (principium exlusi tertii/ qanun imtina’). Karena terjebak dalam kekakuan ini, para pembuat kebijakan pun hanya melihat solusi pada bail out. Pembuat kebijakan itu tidak melihat adanya solusi alternatif (baca: jalan tengah) selain bail out. Dengan demikian dalam analogi saya, pembuat kebijakan itu tak ubahnya supir yang banting stir gara-gara melihat fatamorgana.

Terkait kekakuan logika, sejak berabad-abad yang lalu Plato telah menawarkan metode dialektika untuk mencari jalan tengah. Dialektika, yang bekerja pada tesis dan antitesis menuju sintesis dalam jumlah yang (bisa) tidak terbatas, dengan sangat baik merepresentasikan sifat penyelidikan filsafat yang radikal (sampai ke akar) sekaligus bahwa pertanyaan dalam filsafat jauh lebih penting dari jawaban. Dan keberanian untuk bertanya adalah fundamen pokok filsafat.

“Pelajar filsafat harus berani bertanya sampai ke akar-akarnya”, begitu dalam buku filsafat yang saya baca. Namun karena –sekali lagi- saya new beginner, maka saya kutipkan saja pernyataan yang relevan (mudah-mudahan benar). Pernyataan yang saya maksud adalah pernyataan Jusuf Kalla bahwa telah terjadi “perampokan” oleh manajemen Century. Tentu saja “perampokan” tak tak terlontar begitu saja oleh JK. Setidaknya JK telah berani bertanya “mengapa Century sampai kesulitan likuiditas?” terlebih dahulu. Sebab berdasarkan qiyas (silogisme) di atas, bank yang sehat tidak mungkin mengalami kesulitan likuiditas. JK, sepertinya pernah belajar filsafat.

To be continued