Kamis, 23 April 2009

Ego Extension Kyai

Posted on 09.11 by Muhammad Najihuddin

Semalam saya membaca renungan Muhtar Buchori (Indonesia Mencari Demokrasi, INSISTPress: 2005), tentang kesopanan, judulnya “Sopan, Correct, dan Kruiperig”. Dua istilah terakhir mungkin asing di telinga. Adapun artinya kurang lebih tingkah laku yang sesuai dengan etiket pergaulan untuk correct, sedangkan kruiperig artinya kesopanan pura-pura. Salah satu gagasan sentral dalam tulisan tersebut adalah pentingnya berlaku sopan secara benar. Maksudnya bisa menyeimbangkan antara keduanya; kesopanan dan kebenaran. Sebab berdasarkan pengamatan Muhtar Buchori keduanya seringkali timpang, sehingga yang lahir pada akhirya adalah kebohongan.

Ternyata susah juga untuk mencari ekuilibrium diantara keduanya saat ingin menuangkan pikiran dalam tulisan mengenai ego extension dalam kehidupan kyai ini. Invisible hands ala Adam Smith yang konon punya daya self-regulating ternyata susah untuk diterapkan dalam dua masalah nonekonomi ini. Namun dalam tulisan ini, walau pada kenyataannya susah, saya mencoba menyeimbangkan keduanya, agar tak ada kebohongan.

Saya menjadikan kesopanan sebagai semacam mukaddimah sebab obyek yang ingin saya tulis adalah Kyai. Sosok yang terhormat dan karenanya harus berlaku sopan terhadap mereka. Bahkan di Solo tidak hanya manusia bergelar Kyai yang di hormati dan disopani. Benda dan hewan pun bisa diperlakukan bak manusia dalam memperoleh kehormatan yang biasanya dialamatkan pada Kyai. Buktinya adalah Kyai slamet di Kolo dan banyak keris serta pusaka lain yang memakai Kyai sebagai julukan atau nama.

Kyai adalah sosok yang sangat terhormat. Apalagi di kalangan santri (pesantren salaf). Kyai adalah segalanya. Karenanya penghormatan, yang dalam istilah pesantren disebut takdzim, kepada mereka (kyai) adalah suatu yang sangat wajib. Dan karenanya takdzim santri itu seringkali berlebihan, bahkan kadang akan ada kesan kruiperig! Setidaknya, berdasar identifikasi Muhtar Buchori, kruiperig bercirikan perilaku penuh sanjungan terhadap orang lain dan merendahkan diri secara berlebihan. Dalam konteks hubungan antara santri dan kyai ciri ini bisa berlipat ganda. Di sinilah yang menarik, masih menurut Muhtar Buchori, jika manusia masih punya harga diri maka dia akan merasa muak menghadapi orang lain yang terus merendahkan diri. Namun,sejauh pengamatan saya, gejala ini tidak begitu terlihat dalam konteks relasi Kyai-santri. Yang ada justru Kyai sangat menikmati penghormatan itu, walau dalam bentuk kruperig sekalipun! Dalam bahasa yang vulgar, banyak Kyai yang gila dihormati! Jika diteruskan lagi maka, dengan sangat terpaksa saya katakan, ada beberapa Kyai yang tak punya harga diri. Contohnya, jika mencucup tangan merupakan suatu cara untuk menghormati orang lain, maka lihatlah betapa Kyai menikmati tangannya “dicucup” oleh santri! Tidak salah memang, demikian agama memerintahkan pemeluknya untuk menghormati orang yang berilmu. Dan “nyucup” tangan merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam konteks masyarakat Indonesia. Apalagi kyai identik dengan ulama. Sabda Nabi juga jelas “ulama adalah para pewaris Nabi”. Jika ditambah konsep barokah yang sangat lekat dengan dunia pesantren maka lengkap sudah alasan untuk menghormati kyai. tentu saja tidak semua Kyai demikian, gila dihormati. tapi ada beberapa.

Soal ego extension atau perpanjangan ego, atau perpanjangan rasa ke-aku-an berarti seorang anak yang diperlakukan oleh orang tuanya sebagai perpanjangan atau tumpuan rasa keakuannya (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Dalam dunia Kyai ego extension adalah sesuatu yang sangat kentara. Kebanyakan kyai yang (juga merupakan ayah) seringkali punya keinginan untuk menjadikan anaknya- sering disebut “gus”- lebih baik darinya atau setidaknya identik dengannya. Ego extension ini bisa dilihat pada serangkaian program penggemblengan yang dilakukan kyai terhadap anaknya sejak dini. Katakanlah, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) seorang gus harus hapal nadzam 'imrithiy (tata bahasa arab), selesai ngaji kitab fiqh yang ini, akidah yang itu dan begitu selanjutnya. Akan terus bertingkat setiap sang gus bertambah tingkat pendidikan dan usianya. Singkatnya seringkali kyai punya kurikulum khusus untuk menggembleng sang gus agar dia “berbeda” dan lebih dari santri-santrinya pada usia yang relatif masih muda. Sayangnya, saat memutuskan untuk berbuat itu kyai tidak memahami bahwa sebenarnya dia sedang melakukan pemaksaan nilai terhadap anaknya. Nilai yang tak lebih adalah kepanjangan dari obsesinya. Kepanjangan dari rasa keakuannya. Padahal menurut kajian pedagogi, tiap individu punya keakuannya tersendiri (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Jadi mungkin saja seorang anak kyai punya ego yang bebeda dari ayahnya Sebab keakuan (ego) ini, tidak muncul sebagai sesuatu yang instan, melainkan bertahap. Sejalan dengan perkembangan dan interaksi sosial seorang anak.

Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa kejadian (ego extension) semacam ini sangat lekat dengan tradisi kyai. Salah satunya menurut saya adalah gelar kyai, yang merupakan suatu gelar kehormatan, diwariskan secara turun temurun. Meskipun sebenarnya pada awalnya gelar kyai bisa saja diperoleh dari nol. Dengan trukah, mendirikan pondok pesantren misalnya seseorang bisa saja mendapat sebutan kyai. Namun untuk kelajutannya akan terulang lagi, pewarisan gelar kyai pada gus. Adanya istilah gus juga merupakan pembenaran akan gelar kyai adalah sesuatu yang diwariskan. Dalam konteks ini, gus bisa saja dipahami sebagai kyai muda atau calon kyai. Padahal, sekali lagi gawagizs (bentuk jamak dari gus, berarti para gus) berdasarkan kajian pedagogi yang bersifat normatif tadi, punya ego mereka masing-masing. Ada yang mungkin sama dan mungkin juga berbeda dengan sifat (ego) ayahnya. Jika sama tentu tak ada masalah. Namun jika tidak, dan kyai tetap menjalankan kurikulum khususnya itu, yang terjadi adalah apa yang di sebut oleh banyak pakar sebagai sebuah pemaksaan nilai dan bukan penanaman nilai.

Ironisnya, walaupun kebanyakan gawagizs menjadi korban ego extension ini diawal hidup, setelah mereka jalani banyak juga yang akhirnya bahagia lahir batin. Mereka sukses berkat skenario pemaksaan nilai. Pendapat bahwasanya sebuah pendidikan hanya akan bisa optimal jika didasarkan pada penanaman nilai dan bukannya pemaksaan mendapat satu exception, pengecualian. Atau dalam bahasa pesantrennya kaidah “li kulli qâ'idatin mustastnayât”. Setiap kaidah pasti punya pengecualiannya. Dan santri, ketika menyimak fakta ini akan bersorak kemenangan bahwa apa yang dilakukan kyai mereka memang benar. Ego extension tidak terbukti berakibat buruk untuk Kyai yang mereka hormati “Ini urusan karomah. Persetan dengan ego extension, pedagogi dan analisis ilmiah!”

Kebahagian dan kesuksesan gawagizs yang notabene adalah adalah produk ego extension, bagi saya tentu bukan monopoli barokah semata. Ada hal rasional yang juga bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini. Selain internalisasi nilai yang walaupun dipaksakan tapi tetap berjalan dengan baik pada diri gawagizs, adanya reward atau kompensasi dalam lingkungannya juga ikut menopang kebahagian gawagizs tadi. Lingkungan? Ya! Pesantren yang terdapat banyak santri yang telah didoktrin sedemikian rupa untuk takdzim baik dalam bentuk correct atau kruiperig.

sekedar menjelaskan, kruiperig dalam bahasa pesantren dekat sekali dengan munafik.

wallahu a'lam bi al shawâb



3 Response to "Ego Extension Kyai"

.
gravatar
Anonim Says....

iya pow mas masih patut di pertanyakan itu :D wah kalo gitu kasihan dong yang bukan putra kiyai menurut saya tidak hanya pada putra kiyai saj kita harus sopan ataupun ta'dzim namun pada siapa saja karena toh islam ngajarin kayak gitu tidak pernah saya temukan selama ini anjuran berlaku sopan dengan pandang bulu ataupun pilih-pilih kayak gitu piss mas

.
gravatar
daimenracette Says....

Casinos Near Casinos in New Jersey | Mapyro
Find Casinos Near Casinos, but don't settle for empty hotel rooms at casinos in New Jersey. List with 당진 출장마사지 details on where to 포항 출장샵 go 김해 출장샵 and 상주 출장안마 get directions, 정읍 출장마사지

Leave A Reply