Kamis, 23 April 2009

KETIKA CARREFOUR MENERUSKAN ESTAFET

Posted on 08.50 by Muhammad Najihuddin

Dalam dunia modern siapa yang tak mengakui betapa gemilangnya gagasan yang dikemukakan oleh J.J Rosseau, pemikir Prancis mengenai egalite, fraternite,dan liberte? Gagasan yang berarti persamaan. Persaudaraan dan kebebasaan. Ada banyak interpretasi yang berkembang di kemudian hari. Ekspansi pesat yang dilakukan oleh Carrefour dalam bisnis ritel di Indonesia boleh jadi merupakan pengejawentahan dari salah satu atau semua konsep Rosseau tadi dalam bidang ekonomi. Sayang itu dilakukan dengan sangat timpang dan kebablasan. C4, demikan carrefour biasa disebut, belakangan menjadi ikon bisnis yang selalu menghiasi berita baik cetak maupun elektronik. C4, sebagaimana dituduhkan banyak pihak disinyalir telah melanggar Undang-Undang No.5/ 1999 tentang larangan monopoli. Tongkat estafet penjajahan ekonomi pun kembali bergulir. Dan perusahaan ritel asal Prancis tersebut yang kini mengambil alih peran VOC, Exxon, Freeport dan perusahan asing lain yang telah terlebih dahulu menguras kekayaan negeri ini. Estafet penjajahan ekonomi mulai berayun ke tangan Carrefour.

Gelagat monopoli yang ingin dilakukan C4 sebenarnya telah lama terendus. Tahun 2005, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mewajibkan perusahaan ritel asal perancis ini membayar denda sebesar 1,5 Miliar (Majalah tempo, 19/04/2009). Sebabnya, saat itu C4 menerapkan minus margin dalam persyaratan dagangnya. Hal ini dilaporkan salah satu pemasoknya ke KPPU. Baru empat tahun berselang, kini C4 menghadapi masalah yang serupa. Bedanya kali ini bukan cuma satu pemasok yang mengadukan kesewenang-wenangan carrefour, melainkan sembilan pemasok yang dihadapi Carrefour.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjelaskan mengapa C4 begitu bernafsu melakukan monopoli. Pertama, budaya konsumerisme yang tumbuh pesat di negeri yang katanya religius dan kaya akan kearifan lokal ini. Masyarakat Indonesia tampakya semakin terobsesi dengan segala hal yang berbau modern. Benar apa yang ditulis Muhtar Buchori dalam Indonesia Mencari Demokrasi bahwa telah terjadi perubahan dalam masyarakat ketika memahami modern. Menurutnya, frase modern belakangan punya konotasi dari “sekedar baru” atau “just now” bertambah menjadi “baru yang lebih baik”, “lebih bergengsi”, “lebih sehat”. Jika demikian adanya, wajar jika Carrefour yang punya konsep serba modern mendapat tempat yang lebih di hati masyarakat. Carrefour juga sangat jeli memafaatkan kondisi ini. Hal ini terlihat dari moto Carrefour yang sangat persuasif “ke Carrefour aja... akh!” . Kedua, bisnis ritel di tanah Air memang memang sangat menjanjikan. Pangsa pasar penjualannya pada tahun 2008 mencapai 95,3 triliun, dengan tingkat petumbuhan 21,1 persen dan merupakan yang terbesar kedua di Asia-Pasifik (Repulika, 15/04/2009)! Prestasi ini tentu saja aneh mengingat Indonesia adalah negara berkembang dengan tingkat PDB perkapita yang tidak terlampau tinggi. Bahkan untuk kawasan Asia Pasifik sekalipun. Dengan sendirinya hal ini juga mengisyaratkan kecenderungan pola hidup hedonis yang semakin tinggi dalam masyarakat Indonesia.Wajar jika banyak yang tergiur melakukan monopoli sektor ini di Indonesia. Dan carrefour yang tergoda pertama melakukannya. Ketiga, kelengahan dari KPPU dalam mengawasi bisnis ritel di tanah Air. Dari kasus ini terlihat bahwa KPPU terkesan jaga gawang, dengan hanya menunggu pengaduan dari pihak yang terdzalimi. Padahal bisnis ritel sangat potensial dan karenanya sangat rentan terhadap monopoli. Keberanian Carrefour melakukan pelanggaran yang sama (jika tuduhan monopoli yang sekarang terbukti) dalam selang waktu yang berdekatan menunjukkan kekurangsiagaan KPPU dalam mengawal Undang-Undang anti monopoli. Kondisi ini mutlak menuntut KPPU bersikap proaktif guna mencegah kejadian serupa terulang.

Monopoli dalam bisnis ritel di Indonesia jika dibiarkan pada akhirnya juga akan membuat rakyat, terutama pedagang di pasar tradisional yang semakin terpojok. Akuisisi 75% terhadap Alfa supermarket, akan menjadikan carrefour sangat menguasai bisnis ritel di Tanah air. Artinya, di satu sisi Carrefour berpeluang besar melakukan monopoli dalam penjualan sekaligus monopsoni pembelian terhadap pemasok (Suharto, 16 April 2009). Pengaduan yang dilakukan oleh 9 pemasoknya dengan sangat jelas menunjukkan hal ini. 9 pemasok C4 ini mengeluhkan pemotongan margin yang dipersyaratkan Carrefour di bekas supermarket Alfa yang baru saja diakuisisi. Akibatnya tentu saja keuntungan yang diperoleh pemosok akan tersedot menjadi bagian dari keuntungan Carrefour. Sekali lagi perusahaan asing menjajah ekonomi Indonesia. Kemerdekaan dalam bidang ekonomi, sebagaimana ditulis oleh DR. Sritua Arief, ternyata hanyalah ilusi belaka.

Sebagai perusahaan yang punya induk semang di Perancis, negara yang memperkenalkan konsep liberte, egalite dan fraternite harusnya Carrefour menerapkan ketiganya secara berimbang. Jangan hanya menggunakan kebebasan (egalite), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite) sebagai pemanis dalam proposal dan Public Relation (PR) mereka guna mendapat berbagai kemudahan untuk berdagang, namun kemudian melupakannya dalam praktek bisnisnya. Bagaimanapun juga monopoli sangatlah bertentangan dengan ketiganya. Monopoli yang berakar dari egoisme jelas menafikan kebebasan (liberte) yang dimiliki oleh orang lain. Mengingkari rasa persaudaraan (fraternite), dan mencederai (egalite) persamaan. Dalam konteks monopoli Carrefour dalam bisnis ritel Indonesia, terlihat jelas bahwa ketiga prinsip di atas telah dilanggar.

Kejadian ini bisa disikapi juga sebagai alat koreksi atas religiusitas dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini. Nilai-nilai religi dan kearifan lokal tampaknya semakin kendor dan kedodoran dalam menghadapi serbuan budaya barat yang kali ini tampil dalam wajah konsumerisme dan budaya hedonis. Saatnya kita berintrospeksi.





No Response to "KETIKA CARREFOUR MENERUSKAN ESTAFET"

Leave A Reply