Kamis, 23 April 2009

ANDAI MEREKA SADAR..

Posted on 08.58 by Muhammad Najihuddin

Ekonomi memang punya dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya aspek psikologis. Apalagi dalam masyarakat modern di mana materialisme berkembangbiak dengan sangat subur. Krisis ekonomi Amerika misalnya, yang mengakibatkan banyak orang kehilangan mata pencaharian diikuti dengan meningkatnya angka bunuh diri dan pembunuhan (kriminalitas) adalah bukti konkrit hal ini. Di Indonesia permasalah ekonomi (baca: keuangan) juga direspon dengan cara yang relatif sama. Bunuh diri, dan satu hal lain: gangguan kejiwaan. Pesta demokrasi yang berbiaya mahal ini di Indonesia terbukti mengakibatkan ganguan kejiwaan terhadap para kontestan, terutama para caleg yang gagal. Gelontoran dana besar yang mereka lakukan selama masa kampanye ternyata gagal merealisasikan keinginan mereka: harta dan tahta (dan mungkin juga wanita).

Pemilu legislatif ini diakui banyak kalangan sebagai salah satu pemilu yang berbiaya tinggi (high cost general election). Walau dalam pelaksanaannya terbilang kondusif, tetapi tetap seperti yang diramalkan banyak pihak, kualitasnya rendahan. Bahkan banyak kalangan juga menilai pemilu legislatif 2009 ini selain sebagai pemilu paling mahal juga pemilu dengan kualitas terburuk sepanjang sejarah penyelenggaran pemilu di Indonesia.

Bagi para caleg, pemilu memang membutuhkan pengorbanan dalam banyak hal. Waktu, tenaga, pikiran dan materi banyak yang tersedot untuk tujuan itu. Para kontestan caleg agar dipilih maka mau tidak mau mereka harus memperkenalkan diri kepada masyarakat yang akan menjadi pemilih (konstituen)-nya. Sosisalisasi politik ini bukan tidak berbiaya. Justru biayanya sangat besar. Para kontestan harus ”belanja politik” dengan membuat berbagai alat peraga untuk mempromosikan dirinya. Dari sekedar stiker, pamflet, spanduk, baliho, sampai iklan di media massa baik cetak maupun elektronik. Ditambah uang untu menggerakkan mesin politik mereka. Itu dalam politik yang dilakukan secara bersih. Jika dengan cara kotor, tentunya masih ditambah satu komponen penting lagi, yaitu anggaran untuk money politics. Sekilas saja bisa dibayangkan betapa besar dan yang harus dikeluarkan oleh seorang caleg.

Paham Konsekuensi
Sebenarnya ketika seseorang telah siap maju dalam pencalonan, tiap dari hal yang mereka korbankan akan punya kosekuensi lanjutan. Kata kaidah fiqhiyyahnya “ al ridlo bi al syay'i ridlo bima yatawalladu minhu”. Terjemahnya kurang lebih jika seseorang melakukan sesuatu maka ia harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi yang terbaik dan paling diharapkan oleh para caleg tentunya adalah meraih kemenangan dan terpilih. Adapun konsekuensi yang lain tentu saja kalah dan tidak terpilih. Namun keduanya, baik menang ataupun kalah masih menyisakan konsekuensi lanjutan. Salah satu yang negatif dan paling populer tentunya korupsi berikut cercaan bagi pemenang dan rugi secara finansial berikut gangguan kejiwaan bagi yang kalah. Entah disadari atau tidak hal tersebut oleh para caleg.

Konsekuensi lanjutan diatas sangatlah tergantung dari motivasi tiap individu untuk jadi kontestan pemilu dan cara mempersepsikan jabatan wakil rakyat yang diinginkannya. Idealnya, motivasi yang mendorong seseorang terjun dalam pencalonan adalah ketulusan dan keikhlasan. Tulus mengabdi, memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketulusan yang seperti ini jelas tidak datang dari ruang hampa. Ketulusan ini tumbuh dari pemahaman yang apik dan benar tehadap tugas legistator dan keinginan yang kuat untuk memajukan masyarakat. Jika yang dipahami oleh para caleg dari tugas legislator hanyalah “datang, duduk, dapat duit” (4D), tentu akan sulit mengharapkan mereka menjadi sosok yang punya ketulusan dan keinginan yang kuat untuk memajukan masyarakat. Ketulusan, di sisi lain juga bisa memunculkan sifat legowo atas hasil pemilu. Mengakui bahwa yang menang adalah lebih unggul, lebih dipercaya masyarakat

Begitu halnya jika jabatan sebagai anggota dewan dipersepsikan sebagaimana mestinya, bukan sebagai suatu “lahan basah”, tentu tak akan ada masalah. Yang menimbulkan banyak dampak negatif (termasuk maraknya stres) di kemudian hari adalah jika yang terjadi sebaliknya. Dewan dianggap “lahan basah” yang sangat menjanjikan dalam menumpuk harta dan kehormatan (baca: gengsi). Insentif, baik finansial (dalam bentuk gaji, berbagai tunjangan dan juga potensi korupsi) maupun sosial yang diperoleh anggota dewan memang terbilang menggiurkan bagi sementara kalangan. Akibatnya bisa dilihat dari banyaknya caleg dalam pemilu legislatif kali ini. Naif sekali rasanya jika mengatakan bahwa yang melatarbelakangi majunya seorang caleg adalah murni ingin berjuang untuk rakyat, tanpa “melirik” insentif finansial maupun sosialnya. Andaikata insentif anggota dewan, terutama yang finansial tidak sebesar yang sekarang, mungkinkah peminat (caleg)-nya akan sebanyak pemilu kali ini?

Mencuatnya fenomena stres di kalangan caleg yang gagal juga merupakan sebuah koreksi atas pemilu dan demokrasi di Indonesia. Pemilu yang mahal baik dari segi penyelenggaraan maupun dana yang harus ditanggung kontestan ternyata tidak linear dengan kualitas proses dan hasil pemilu. Pemilu yang kapitalistik seperti ini, alih-alih solutif justru melahirkan problematika baru. Semestinya pemilu di Indonesia lebih memperhatikan pada kompetensi, kapabilitas dan kapasitas para kontestan, bukan pada ability to pay. Sesuatu yang harus diperhatikan.



No Response to "ANDAI MEREKA SADAR.."

Leave A Reply