Rabu, 21 Januari 2009

Tarik Ulur Subsidi BBM

Posted on 11.20 by Muhammad Najihuddin


Mungkin masih banyak masyarakat yang tak paham benar dengan arti subsidi bahan bakar minyak (BBM) itu apa, walaupun dalam kehidupan nyata mereka tidak pernah bisa lepas dari BBM. Semua barang yang kita gunakan (konsumsi) semuanya berbau BBM. Mulai dari yang jelas terlihat menggunakan BBM seperti kompor dan mobil, sampai yang secara kasat mata tampak tak berkaitan sama sekali dengan BBM, seperti halnya baju yang kita kenakan. BBM bagi kehidupan manusia sekarang ini ibarat darah yang melumuri daging, semuanya merah dan “amis” oleh BBM
Sebab semua barang yang sampai pada tangan kita untuk kemudian kita konsumsi dari proses produksinya sampai distribusi semuanya memerlukan BBM. Oleh karena itu ketika harga BBM naik, maka secara otomatis harga barang lain akan terkatrol naik.
BBM adalah komoditas langka, dibutuhkan semua negara tapi tidak di semua negara BBM tersedia. Ketersediaan BBM yang sedikit (kelangkaan) inilah yang menjadikan BBM dikategorikan sebagai barang ekonomi. Adapun bahwa BBM dibutuhkan (permintaan) oleh semua negara adalah faktor yang menjadikan harga BBM mahal. Sesuai dengan bunyi hukum permintaan “tingginya jumlah permintaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan akan membuat harga suatu barang menjadi mahal”. Kelangkaan BBM ini juga merupakan salah satu faktor utama terjadinya perdagangan internasional. Negara yang tidak mempunyai ladang minyak akan mengimpor minyak dari negara penghasil minyak guna melaksanakan kegiatan industri di negaranya. Seperti diungkapkan di atas, karena jumlahnya yang sedikit dan permintaan yang banyak maka harga BBM di pasaran internasional akan lebih mahal daripada di pasar domestik. Menghadapi kenyataan ini maka seringkali negara penghasil minyak dilanda kebingungan antara menjual ke luar negri untuk meraup untung banyak atau tetap menjual di dalam negeri, tapi dengan keuntugan yang lebih sedikit. Hilangnya kesempatan untuk meraih harga yang lebih tinggi semacam ini dalam ekonomi dikenal dengan istilah opportunity cost.
Indonesia sendiri, yang merupakan salah satu negara penghasil minyak menghadapi dilema yang sama. Apakah akan menjual minyak lebih banyak keluar negeri ataukah tetap menjaga ketersediaan minyak di dalam negeri? Karena pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka dengan sendirinya kemaslahatan rakyat yang menjadi orientasinya dan orientasi murni produsen (untuk selalu mencari keuntungan harus) harus dikekang. Kemaslahatan ini tidak lain dilaksanakan dengan mengurangi jumlah BBM yang seharusnya bisa di jual ke luar negeri guna menjamin ketersediaan pasokan BBM di dalam negeri. konsekuensinya keuntungan yang diperoleh pertamina menjadi lebih kecil dari keuntungan potensial (yang seharusnya didapat). Keuntungan yang hilang (opportunity cost) inilah yang oleh ekonom Indonesia yang belajar di Amerika (Berkeley) sana diterjemahkan sebagai subsidi.
Jadi sebenarnya arti kata subsidi ketika dirangkai dengan kata BBM, bukan lagi arti sebagaimana yang ada di kamus. Subsidi ini juga bukan berarti “kebaikan pemerintah” yang mau menganggarkan sebagian dari penerimaannya untuk ikut nalangi harga yang mesti dibayar oleh rakyat, sehingga harganya akan lebih murah. Sebab pada kenyataannya praktek Subsidi BBM memang tidak demikian adanya.
Lucunya pemerintah kemudian memakai logika opportunity cost ini dalam penyusunan APBN. Atau dengan kata lain pemerintah menghitung uang yang sebenarnya tidak ada dan tidak nyata sama sekali. Belajar dari mana sebenarnya orang yang duduk di kabinet matematika seperti ini?
Istilah subsidi juga seringkali diikuti dengan berbagi pro dan kontra seputar perlu dan tidaknya subsidi dalam suatu perekonomian dan apakah subsidi membuat kegiatan ekonomi semakin efisien atau sebaliknya? Bagi mereka yang populis dan prorakyat, subsidi jelas dibutuhkan. Lain halnya kalau pertanyaan ini diajukan pada ekonom golongan neoliberal maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut mereka subsidi adalah suatu distorsi dalam perekonomian sehingga harus dihapuskan. Para pengagung mekanisme pasar yang juga pengidap “alergi” intervensi pemerintah ini menilai subsidi adalah kebijakan yang sarat diskriminasi karena melindungi produsen dalam negeri dari serbuan barang impor.
Mereka yang berasal dari kalangan ini biasanya menuntut penyesuaian harga BBM di dalam negeri terhadap kenaikan harga BBM di pasaran internasional. Jadi, masih menurut logika mereka, katakanlah pada saat harga minyak di pasar internasional adalah 140 US$ per barel, maka harga BBM di tanah air harus ikut naik menjadi sekitar10-15 ribu per liter. Sebab kata mereka jika hal ini tidak dilakukan maka defisit APBN akan semakin besar (menut Ilene Grabel anggaran berimbang adalah salah satu isi dari tiga komponen neoliberal). Padahal Jika ini sampai dilakukan maka bisa dipastikan sektor riil yang akan kejang-kejang bahkan mati. Efek dominonya pengangguran akan semakin membengkak dan masalah sosial akan semakin menjamur di pertiwi.
Yang punya pemikiran penghapusan subsidi dan penyesuaian harga BBM dengan harga di uar negeri saat harganya melambung jelas orang yang sangat tidak paham dan tidak peduli dengan kondisi rakyat Indonesia pada umumnya. Bagi mereka, mungkin observasi partisipatif, usulan yang diajukan Ishak Rafick adalah sesuatu yang pantas mereka coba. Sebab mereka tidak mungkin bisa sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya menjadi bagian ekonomi lemah hanya dengan melihat berita TV di ruangan ber-AC atau membaca koran pagi sambil menyeduh teh hangat. Kiranya jika para penggagas penghapusan subsidi ini melaksanakan observasi partisipatif barulah pandangan mereka akan berubah.
Soal penyesuaian harga minyak, dulu pemerintah menjadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai alat legitimasi untuk melakukan sedikit penyesuaian. Alasannya juga yang tidak rasional itu tadi, agar defisit APBN yang disebabkan subsidi bisa dikurangi. Lalu ketika harga minyak dunia turun drastis pemerintah malah seolah enggan untuk cepat melakukan penyesuaian. Padahal iklim ekonomi menuntut adaptasi berupa penurunan harga BBM, sebelum badai krisis finansial global, yang dampaknya mulai terasa di Indonesia, semakin menjadi. Jika pemerintah kembali beralasan bahwa penurunan harga ini kemungkinan besar hanya bersifat sementara, sebab harga minyak tergolong elastis, maka sebenarnya alasan ini juga tidak dapat bisa diterima. Pengamat perminyakan, Kurtubi juga mendukung penurunan harga minyak sampai harga keekonomiannya yaitu Rp 4.500. Bahkan menurut kalkulasinya, jika OPEC memang ingin kembali menaikkan harga minyak dengan mengurangi produksinya secara massal, katakanlah sampai 1,5 juta barel, maka harga minyak hanya akan ada di kisaran 60-70 per barel. Sehingga, umpama subsidi BBM benar-benar ada, harga BBM harus tetap turun. Fungsinya sebagai stimulus bagi sektor riil dan untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
Selain itu pemerintah juga kerap mengalasani keengganan mereka menurunkan harga BBM dengan dalih bahwa selama harga minyak dunia naik, subsidi yang harus “dibayar” oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp 100 Triliun. Hal ini memang benar adanya, akan tetapi pemeritah juga harusnya jeli bahwa kondisi sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang masalah yang dihadapi pemerintah adalah perekonomian yang mengarah ke resesi. Ini ditandai dengan menjamurnya PHK dan banyaknya perusahaan (ekspor) yang terancam gulung tikar karena tak ada order dari luar negeri. Jadi sekali lagi penurunan harga BBM bagaimanapun juga adalah suatu keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Selain itu karena BBM juga menyangkut hajat hidup orang banyak maka kebijakan yang populis dan prorakyat jelas lebih pas. Penurunan harga BBM dan subsidi termasuk kategori ini.wallahu a’lam bi al shawab


2 Response to "Tarik Ulur Subsidi BBM"

.
gravatar
Anonim Says....

salam... COY..
ra usah gawe logika ingkang muluk-muluk...
iki enek crito... ACUNG arep bakulan sego cap "mbok tum" bea produksi 2000, cah KN kuate bayar 1500. Kon , ketua OPPKne, gawe kebijakan... nomboki ACUNG 1000 per sego cap "mbok tum", dadi ACUNG ngetokke modal mung 1000. pas aku keluen mangan sego cap "mbok tum" bayr 1250 (250 maneh di utang lagi ra gablek dwik) piye.... rugi opo BUNTUNG bakulan koyok ngene...???? lek kon jawab UNTUNG SEBESAR 250, wes.... dipikir maneh aku ra komen..lah
tapi lek kon jawab transaksine BUNTUNG, lanjut...
piye.... ACUNG iku TANOTO SING NGEMPLANG BENSIN sak keluargane... kon iku INDONESIA sing arep bubar... trus... yo...???? yo terserah kon...
urusan stimulus cuba bukak depkeu.. disik karo deperindag... trus bi...
dadi stimulus ojo dideleh nang kono tapi di deleh nang kemitraan kang ket saiki ngimpor contone daging WEDUS, SAPI, JAGUNG, BERAS...lek nang kono berarti ra butuh gawe konsumsi tambahan tapi adolan panganan nang wong keluen contone aku..... oke.... hahah..... ha... aku ra maksut nyapo-nyapo mek numpang ngoceh..... eleng coyyy.....jaman liberalisasi duduk pangonane wong glek aman gawe subsidi tapi gawe jamane atrakasi ...opoo-opo ranyambung wes
wasalam

.
gravatar
Muhammad Najihuddin Says....

makasih untuk feedback njenengan,mas anonim (walau sebenarnya mudah sekali memahami siapa anda dari bahasa yang anda pakai).
logika mbok Tum yang sederhana ini tak saya pakai karena kecil kemungkinan anak Kn akan membaca masalah subsidi.
sebab bagaimanapun mereka masih terlalu sibuk berkutat dengan pengembangan bahasa.(kita doakan saja bhasa mereka akan semakin bagus sembari mau melirik ke permasalahn yang tak kalah penting dari sekedar ana awwalan, atau mukholif)..wallahu a'lam

Leave A Reply