Senin, 19 Januari 2009

Belajar Dari Setan (Merah)

Posted on 10.19 by Muhammad Najihuddin

Dalam dunia modern, sepakbola telah berevolusi dari yang semula sebatas olah raga menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Hampir semua Negara maju mempunyai sepakbola yang maju. Tercatat hanya ada beberapa Negara berkembang yang punya kualitas sepakbola sebanding dengan Negara maju. Namun jika sudah memasuki bisnis sepakbola maka tak bisa disangkal bahwa Negara berkembang sekaliber Brazil (juara piala dunia terbanyak) sekalipun, tidak secanggih negara maju dalam menjadikan sepakbola sebagai bisnis. Sebagai bisnis tentunya sepakbola membutuhkan pasar sebagai tempat pengeruk kekayaan. Negara berkembang yang punya banyak jumlah penduduk tinggi adalah sasaran utamanya. Indonesia termasuk kategori ini.
Pihak MU,salah satu orang dalamnya pun mengakui dengan blak-blakan bahwa alasan MU mampir di Indonesia adalah karena banyaknya fans yang ada disini. Fans kalu diterjemahkan dalam istilah ekonomi bisa berarti pasar. Juga, kalau diamati, touring yang diadakan oleh banyak klub terkenal selalu menjadikan negara kawasan Asia dan Afrika sebagai tujuannya. Jarang sekali mereka menjadikan Brazil, Argentina atau negara lain dengan sepakbola maju sebagai tujuan. Padahal Negara-negara tadi sama-sama termasuk negara berkembang. Alasannya tadi, sebab negara-negara tersebut punya sepakbola yang bagus. Bahkan pemain-pemain dari negara tersebut adalah incaran talent scout klub –klub besar eropa (negara maju).
Adapun Indonesia yang akan kedatangan MU Juli nanti, merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk tinggi dan kondisi persepakbolaan yang sangat tidak memprihatinkan. Membaca sejarah sepakbola Indonesia seperti menerima surat panjang sekaligus memalukan. Hampir semua aspek dalam sepakbola punya rapor merah. Mutu dan skil pemain rendah, tidak profesional dan sangat minim sportivitas. Bahkan seringkali terkesan bahwa pemain bola Indonesia lebih pas jadi atlet karate atau tinju. Anekdot ini merujuk pada banyaknya kekerasan yang terjadi antar pemain, bahkan belakangan kerap melibatkan official klub dan wasit. Soal kelakuan supporter tidak usah dijelaskan bagaimana parahnya. Perhatian tehadap fasilitas pendukung utama sepakbola seperti stadion pun sangat minim. Padahal logisnya, kalau ingin maju sepakbolanya, harusnya disediakan fasilitas yang lebih mendukung. Jadi kalau Juli nanti banyak pemain utama MU yang enggan merumput di Indonesia jangan salahkan mereka, sebab memang masalahnya ada pada kita, yaitu kondisi stadion yang tidak sesuai standar.
Terlepas isu-isu di atas, sisi utama dari mendatangkan MU ke Indonesia adalah untuk menimba ilmu sepakbola dari mereka. Yang pasti mengenai teknik bermain di lapangan hijau dan kalau bisa manajemen pengelolaan klub yang professional. Terkait teknik yahud di lapangan tentunya tak lepas dari pembinaan usia dini. Jika dalam dunia normal tanah merupakan asset. Lain halnya dengan sepakbola. Aset yang paling berharga dalam sepakbola adalah pemain muda. MU termasuk klub yang sangat memperhatikan hal ini. Akademi sepakbola MU merupakan salah satu yang terbaik di dunia. David Beckham adalah buktinya. Kepedulian MU akan pembinaan bakat juga terlihat saat MU menawarkan pemain yang sudah berusia uzur seperti Edwin van der Saar, Paul Scholes dan Ryan Giggs untuk mengabdi di akademi MU. Tujuannya jelas agar skill mereka diwariskan pada generasi muda yang sedang menimba ilmu di akademi.
Klub-klub peserta Indonesia Super League atau akrab disingkat ISL yang seharusnya antusias dengan kedatangan MU sebaiknya jangan salah kaprah perihal banyaknya pemain non Inggris yang kerap bercokol di starting line up MU. Toh pun begitu, MU tetap mengimbanginya dengan pembibitan usia dini seperti dipaparkan di atas. Jika hal ini yang diadopsi oleh klub peserta ISL justru pada akhirnya sepakbola nasional akan semakin merana. Dengan banyaknya legiun asing yang didatangkan, pemain lokal, terutama yang berusia muda akan sulit berkembang. Sebab selama ini para pelatih klub-klub peserta ISL lebih suka dan percaya diri dengan pemain asing ketimbang mengasah pemain lokal. Padahal jika mau melek fakta, kebanyakan pemain asing yang ada di ISL telah beralih fungsi. Dari yang semula ditujukan untuk mengajari pemain lokal bagaimana cara bermain bola yang baik, bergeser menjadi biang kerok keributan. Jika ingin tujuan tadi dicapai sudah seharusnya aturan mengenai kualitas minimal pemain asing di tingkatkan. Jangan mereka yang bermain di divisi 3 yang kita undang untuk bermain di tanah air. Asumsi bahwa mereka yang beda warna kulit dan mata selalu lebih pandai bermain bola ketimbang kita yang berkulit sawo matang juga harus dibuang jauh-jauh.
Selain masalah pembibitan pemain, ilmu lain yang harus dipelajari dari MU ini adalah bagaimana mengelola klub secara profesional, sehingga selain sukses meraih banyak prestasi dan reputasi juga sukses secara finansial. Hampir setiap laporan mengenai daftar klub terkaya di dunia dirilis, MU selalu nangkring di posisi lima besar. Kalau ditelusuri, prestasi, reputasi dan aspek finansial sebenarnya sangatlah bertalian erat dengan pembinaan pemain di usia muda. Logikanya sederhana, jika punya pemain bagus maka besar kemungkinan prestasi akan ikut bagus dan dengan sendirinya reputasi akan mengkilap. Melihat ini investor mana yang tidak ingin ikut tanam saham dan perusahaan mana yang tidak ingin bekerjasama?
Jika ingin seperti membuat klub seperti MU berarti adalah kesiapan untuk meniru laku yang selama ini ditempuh MU. Ditambah kemampuan untuk berpikir jernih guna memilah dan memilih mana konsep yang benar-benar bisa diterapkan di Indonesia tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Namun pengembangan pemain muda, pengelolaan klub dengan profesional, peningkatan kualitas fasilitas tidak akan punya pengaruh signifikan tanpa didukung regulasi yang mendukung. Artinya harus ada upaya sinergis dari semua kalangan pecinta sepakbola di tanah air dan komitmen yang kuat untuk memajukan sepakbola nasional.



No Response to "Belajar Dari Setan (Merah)"

Leave A Reply