Jumat, 16 Januari 2009

Bukan Kemalasan, Hanya "Kenakalan Intelektual"

Posted on 16.26 by Muhammad Najihuddin

Bukan sekali saja saya mengajak banyak teman untuk menunaikan sholat. Tapi sayang, hasil nihil yang paling sering saya dapati. Jika mereka menjawab, paling yang keluar dari mulut mereka sebatas “titip ya!” atau “jangan lupa doakan aku ya!”. Itupun dengan raut muka tanpa dosa (yang entah mereka kenal atau tidak). Atau belakangan ini mereka akan menjawab dengan sangat percaya diri “kami sholatnya nanti kalau kami sadar, biar bisa ikhlas dan khusyuk”. Alasan ini bagi saya sangatlah menarik sebab ternyata mereka juga tahu bahwa sholat sangat membutuhkan kesadaran dan keikhlasan agar bisa diterima oleh Allah. Jadi keengganan mereka untuk tidak sholat, bukan sebatas dikarenakan kemalasan mereka, melainkan lebih dikarenakan “kenakalan intelektual” mereka. Dan alasan mereka pun, menurut saya, terbilang lumayan rasional. Setidaknya memang demikian (bahwa ibadah harus didasari keikhlasan agar diterima) yang mereka sering dengar dalam berbagai ceramah dan khotbah (yang mereka ikuti).

Dalam ibadah semisal sholat, keikhlasan memang syarat utama. Sambal tanpa cabe kiranya jika ada ibadah yang tak didasari keikhlasan. Jadi alasan teman-teman saya yang tidak sholat itu benar? Sampai disini benar, tak ada yang salah. Sebab ulama, apalagi yang tergolong ahli tasawuf hampir semuanya seiya sekata untuk menjadikan keikhlasan sebagai syarat mutlak diterimanya ibadah, termasuk sholat. Tanpa keikhlasan, kata mereka (ulama) ibadah mardudatun la tuqbalu. Tidak diterima sama sekali. Imam Ghazali ketika ditanya mengenai mana yang lebih penting sholat berjamaah di masjid tapi tidak khusyuk ataukah munfarid di rumah tetapi disertai kekhusyukan? Beliau dengan tegas memilih sholat dirumah yang disertai kekhusyukan, ketimbang di masjid tapi tidak khusyuk.

Kekhusyukan dalam beribadah memang sangat erat kaitannya dengan keikhlasan dan kesadaran. Bahkan hubungan keduanya bisa dikatakan berbanding lurus. Yang menjadi masalah dari alasan teman-teman saya sebagai alat untuk melegitimasi mereka untuk tidak sholat sebenarnya ada pada kata “nanti”. Maksudnya mereka cenderung pasif dan pasrah bongko’an dalam hal kesadaran ini. Mereka lebih memilih untuk menunggu kesadaran datang dengan sendirinya ketimbang berusaha menumbuhkembangkannya. Apakah mungkin kesadaran datang dengan sendirinya? Bagi saya mungkin, hanya saja kemungkinan itu sama seperti kemungkinan batu yang anda sentuh bisa berubah jadi emas. Atau dengan kata lain sangat kecil kemungkinannya. Yang bisa mengubah hal ini dari yang asalnya sebatas probabilitas untuk mejadi realitas pun hanya ada satu. Imam gazali membahasakan hal tunggal ini sebagai ilham ilahi. Sampai disini alasan tadi menjadi tidak sesederhana yang didengar. Sebab ilham ilahi tidak dimandatkan pada sembarang orang. DR. Sa’id Ramadan Bouty , saat mengulas Hikam ibn ‘Athoillah (The Ata’i’s Aphorisms) menjelaskan bahwa ilham ilahi atau hidayah ini hanya akan dimandatkan pada orang-orang yang benar-benar bertakwa.

Jika takwa didefinisikan sebagai menjalankan semua perintah Allah dan menjauh dari semua larangan-Nya. Sedangkan sholat termasuk salah satu perintah Allah yang wajib dilaksanakan dan dilarang keras meninggalkannya (bahkan beberapa ulama berpendapat ekstrim dengan menghalalkan darah mereka). Lalu bagaimana jika ada orang yang enggan menunaikan sholat, sembari berharap dia akan dihampiri ilham atau hidayah tadi? Apakah mungkin? Pembaca lebih bisa menjawab.

Kesadaran bukanlah hal yang bisa tumbuh dengan sendirinya. Daripada mirip rumput, kesadaran lebih mirip dengan padi yang harus sengaja ditanam, dijaga dan dipelihara agar bisa dipanen hasilnya. Salah satu cara yang paling efektif untuk menanamkan kesadaran adalah dengan pemaksaan. Jauh hari Imam Bushayri dalam qashidah Burdahnya sudah memberi kita alternatif ini. Beliau membuat metafor yang sangat baik perihal pemaksaan ini. Menurut Imam Bushayri “hawa nafsu seperti halnya anak kecil yang jika tidak disapih secara paksa dari ibunya maka dia akan tumbuh ditetek ibunya”. Walaupun metafor ini ditujukan untuk hawa nafsu bukannya penumbuhan kesadaran, saya rasa hal ini tidak lantas menjadikannya tidak relevan dengan masalah pemaksaan untuk menumbuhkan kesadaran. Hanya saja ketika pemaksaan (untuk sholat) ini hanya datang dari pribadi kemungkinan suksesnya akan sangat kecil. Sebab harus diakui bahwa manusia seringkali terlalu longgar pada mereka sendiri. Dalam kondisi seperti inilah peran dari lingkungan sangat dibutuhkan terutama dari mereka yang punya bargaining position yang kuat. Pemaksaan ini tidak harus dipahami sebagai legitimasi untuk bertindak kekerasan. Mungkin cukup dengan menciptakan iklim yang tidak kondusif baginya jika meninggalkan sholat. Misalnya dengan sindiran,teguran dan ajakan yang intensif pada mereka.

Jika sudah berhasil ditanamkan, kesadaran haruslah dijaga. Dengan apa? Rutinitas atau pembiasaan. Karenanya juga sholat disyariatkan untuk dilakukan setiap hari lima kali. Isinya pun penuh dengan repetisi atau pengulangan. Tujuannya agar kesadaran itu tetap terjaga.

Kalaupun kesadaran dan keikhlasan tetap gagal menyertai ibadah, padahal sudah melewati tahapan penanaman dan penjagaan, haruslah diingat bahwa ketika kita melaksanakan sholat (tanpa keikhlasan) sudah jauh lebih baik daripada tidak sholat sama sekali. Setidaknya peluang kita untuk mendapatkan ilham ilahi menjadi terbuka.



No Response to "Bukan Kemalasan, Hanya "Kenakalan Intelektual""

Leave A Reply