Minggu, 02 Agustus 2009

’Bijak’ , ’tak Bijak’ dan Situasional

Posted on 13.40 by Muhammad Najihuddin

’Bijak’lah

Dulu aku pernah pernah tergabung dalam kategori orang ’bijak’ versi pemerintah. Bahkan aku dan jutaan orang lain di pelosok nusantara, mungkin tergolong terlalu cepat ’bijak’. Mengingat kami-aku dan mereka- belum memnuhi syarat untuk menjadi ’bijak’. Pun demikian aku dan mungkin mereka tanpa sadar telah merasa bangga dan dibanggakan. Terutama oleh pemerintah.
Aku tak ingat kapan dan entah karena motif apa ada pergolakan, pemberontakan dalam diriku. Ia menolak tunduk dan terus menjadi ’bijak’. Di dalam diriku pun terjadi pergulatan, adu argumen dan antara dua kubu, yang terus ingin menjadi ’bijak’ dan yang enggan ’bijak’ lagi. Dan aku, tanpa tau mana ilham tuhan dan mana bisikan setan, menjadi juri atas diriku sendiri, atas pegulatan antara keduanya. Akan terus ’Bijak’ atau tidak.

”Silakan salah satu dari kalian mengajukan alasan kalian masing-masing. Dimulai dari kau ’Bijak’.” aku memulai persidangan.

Si ’Bijak’ mulai memaparkan semua pertimbangannya.

”Tuan, memang benar kalau bayi terlalu cepat dilahirkan, prematur, biasanya kurang sehat, tapi Anda dan mereka yang terlalu prematur untuk ’bijak’ ini sungguh tidak seperti bayi. Anda justru, telah melakukan banyak hal, tidak merepotkan sebagaimana bayi.”

”Maksudmu? yang lebih riil...” aku minta penjelasan yang lebih gamblang pada si ’Bijak’.

”Dengan terus melanjutkan menjadi orang ’bijak’ berarti anda telah membantu menopang keuangan pemerintah, menghidupi banyak pegawai negeri dan membuat banyak jalan dibangun.”

”Dalam bidang olahraga, menjadi ’bijak’ berarti ikut berkomitmen memajukan olahraga nasional, mulai sepakbola, bolavoli, futsal badminton, sampai motocross. Anda dan manusia Indonesia lain tak akan menonton liga Italia, Spanyol, Inggris Jerman, atau jika anda nasionalis, ISL, IBL tidak akan terselenggara tanpa ada orang ’bijak’.”

”Ooo.... berarti karena itulah pemerintah menyebut aku dan jutaan orang lain, lewat spanduk yang direntang di jejalanan, di tikungan dan perempatan, di depan institusi pemerintah, di lapangan dan di semua tempat strategis, sebagai orang ’bijak’. Semua spanduk itu tentu saja untuk menunjukkan pada khalayak bahwa aku juga berjasa bagi pemerintah dan bangsa dan karena itu menjadi pinuji?” aku bertanya dan mulai terpengaruh oleh pemaparannya yang rasional sekaligus emosional.

”Lebih dari itu..! Dengan menjadi ’bijak’, bagi manusia yang tak merasa cerdas, sebenarnya dia tak kalah dengan anak turun Habibi yang sedang bergelut di olimpiade, sebab dengan menjadi ’bijak’ dia akan membantu mereka yang mampu tapi tak mampu. Tengoklah di universitas seluruh Indonesia ada berapa skim beasiswa buah ’bijak’nya dia dan juga anda? Atau lebih gampangnya googling saja! Artinya kalau anda berhenti menjadi ’bijak’ maka tak akan ada lagi Habibie-habibie terlahir di pertiwi”

Ku tarik laptop di sampingku, segera saja ku lihat barang bukti yang disodorkannya tadi. Dan memang benar apa yang dikatakannya. Dengan menjadi ’bijak’ aku juga ikut berperan terhadap pendidikan nasional.

”Di bidang seni, anda juga ikut menyumbang agar kreativitas anak bangsa bisa di tonjolkan, ditunjukkan pada dunia luar, bahwa Indonesia juga bisa dan punya Indonesian idol. Bahwa kita masih punya pangeran dangdut setelah sang raja yang karena merasa tak pantas mentas karena telah udzur dan lebih berkonsentrasi untuk akhiratnya. Dan semua itu menegaskan bahwa dunia musik kita bukan kelas medioker, bukan semenjana seperti yang selama ini orang sinis dan pesimistik terhadapnya. Anda ikut andil dalam semua itu. Begitulah keprematuran anda untuk ’bijak’ sungguh punya banyak manfaat.”

”Yaa aku paham ’manfaat menjadi bijak’ memang merangkum seluruh sendi kehidupan, muta’addi lah kiranya dan muta’addi afdhalu min al-qashir”. Aku bergumam lirih.

”dan karena itulah sebagian besar orang ’bijak’ adalah orang Islam. Bahkan pak kiai, yang ’alim-’alim dan saleh-saleh itu juga kebanyakan adalah orang ’bijak’. Mereka semua menjadi ’bijak’ juga atas dasar pertimbangan maslahat itu.” si ’Bijak’ menimpali, rupanya ia mendengar gumam lirihku tadi.
Bahkan ia melanjutkan. Namun kali ini mulai tidak jelas.
”......selain itu, dalam bidang ini itu dan tiu pemberani, tangguh,.... selera pria,... bukan basa-basi..., enjoy aja bijak’....mantap, real adventure..slim, impo...” suaranya mulai meracau tak jelas, mungkin karena saking bergairah untuk tetap menjadikan aku sebagai orang ’bijak’.

”Cukup ’Bijak’...!” aku membentak. Aku rasa itu semua sudah cukup dan andai bukan karena telingaku ada dua pasti aku akan tetap ’bijak’. Hanya saja kita harus mendengarkan pembelaan dari ’tak bijak’.”

”Setelah jeda sidang, giliran kau ’tak bijak’, apa yang dapat membuatku percaya padamu dan menjadi tidak ’bijak’ lagi? Sampaikan nanti.”
” Keputusan yang mengikat baru akan diambil setelah ’tak bijak’ menjelaskan alasan-alasannya. Untuk masa jeda sidang dan mengantisipasi kemungkinan transisi saya nyatakan bahwa untuk saat ini kita anut prinsip SITUASIONAL. Sesekali boleh ’bijak’ dan boleh tidak. Thok....thok... ” palu aku ketukkan dua kali, menandai rehat.





No Response to "’Bijak’ , ’tak Bijak’ dan Situasional"

Leave A Reply