Jumat, 27 Februari 2009

Bahasa Ilmiah Ilmuwan

Posted on 20.22 by Muhammad Najihuddin


Ekonom, politikus, rohaniawan, dan orang lain yang sejenis yang bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan di kelasnya seringkali punya kesamaan. Kesamaan yang dimaksud disini bukan dalam segi semuanya merupakan orang yang berilmu atau punya pemahaman yang sangat luas dan baik dalam bidangnya. Melainkan kesamaan perihal kebiasaan mereka (bahkan seringkali seperti kesengajaan) untuk memakai bahasa yang tidak dipahami oleh orang lain. Bahasa yang terkesan melangit. Atau kalau menurut istilah mereka bahasa yang ilmiah.

Bahasa ilmiah, entah mengapa susah sekali menemukan yang asli bahasa Indonesia. Bahkan mungkin jika ada ilmuwan Indonesia sekalipun yang menemukan sesuatu yang baru dan bersifat ilmiah ia tidak lantas menamakannya dengan bahasa Indonesia. Tanah Air kita memang bukan (semoga akan) menjadi pusat sesuatu yang kerap disebut ilmiah. Sesuatu yang ilmiah selama ini seringkali hanya dinisbatkan pada negara-negara benua biru (Eropa),Amerika Latin atau negara-negara kawasan timur tengah (Jazirah Arab). Menjadi suatu kewajaran tentunya jika bahasa dari negara-negara tersebut dan bukannya bahasa Indonesia yang akan digunakan dalam sesuatu yang bersifat ilmiah.

Harus kita akui memang bahwa bahasa Indonesia sangatlah miskin kosa kata. Penyebabnya jelas, bahasa Indonesia tergolong masih sangat muda sehingga banyak sekali kosa kata dalam bahasa indonesia merupakan serapan dari bahasa lain. Diserap begitu saja paling dengan merubah sedikir cara mengejanya (sebabnya barangkali lebih karena faktor lidah). Alih-alih berusaha memperkaya dengan karya sendiri para ilmuwan malah ikut andil dalam mempopulerkan (populer juga termasuk kata serapan) bahasa serapan. Kata mereka ini adalah bahasa ilmiah.

Saya juga tak habis pikir, mengapa untuk disebut ilmiah sesuatu harus memakai bahasa asing seperti itu? Sehingga akan lebih sulit di mengerti. Padahal sifat ilmu adalah memudahkan. Dengan ilmu sesuatu bisa dilaksanakan dengan lebih baik dan pantas. Menyupir contohnya, jika ketepatan waktu, keanglesan dan kenyamanan penumpang yang jadi patokan penilaian, maka tentu orang lebih memilih untuk disupiri Michael Schumacher daripada oleh si Badu yang tukang parkir dan tidak tau ilmu nyupir. Penumpang akan lebih cepat sampai di tujuan dengan Michael Schumacher bahkan mungkin saat Badu belum berhasil menyalakan mesin mobil. Ilmunya para ilmuwan kan tidak beda jauh dengan ilmu nyupir tadi. Paling sekedar mengubah dari yang asalnya dilakukan dan seolah biasa menjadi susunan bahasa yang diperbincangkan dan dituliskan. Tentunya dengan cara dan urutan yang menjadikan sesuatu itu pantas disebut ilmu sehingga bersifat ilmiah. terus mengapa harus memakai istilah yang njlimet itu? Kata mereka agar tidak dinilai sebagai suatu bentuk penjiplakan (istilah ilmiahnya plagiarisme).

Penjiplakan sebenarnya juga hanya masalah tata krama dan tanggung jawab moral dari tiap orang yang hendak merujuk pada hasil karya orang lain. Menurut saya hal yang mendasar dari pengutipan bukan ada pada bagaimana kita menuliskan (atau mengatakan) ulang, apakah akan persis sama atau dengan sedikit kemiripan dan sedikit mendandaninya. Yang terpenting adalah si pengutip atau perujuk mengakui dengan jujur bahwa pemikiran iyang diungkapkannya adalah bukan murni pemikirannya. Melainkan wangsit dari "mbah Jambrong" misalnya.

Terus bagaimana sikap kita terhadap bahasa ilmiah? Yang arif sajalah. Cukup tahu, jika sudah tahu beritahu orang lain. Cukup ngerti tapi jangan lupa kasih ngerti orang lain juga. Kalaupun tertarik dan ingin memperdalam (menjadi ilmuwan) ya silakan! Tak ada yang melarang. Asalkan ketika sudah pintar jangan minteri (membodohi) orang lain. Yang pintar yang benar. Semakin tahu dan paham seseorang akan hakikat sesuatu, sebenarnya ia punya tanggung jawab untuk membuat orang lain dari yang semula tidak ngerti menjadi ngerti, dari yang hanya setengah-setengah menjadi penuh, dan yang sudah ngerti menjadi paham sepertinya. Bukan malah sebaliknya, membuat orang semakin tidak mengerti. Adapun caranya terserah.

Hanya saja kalau mau percaya dengan Imam Ghazali coba saja merujuk pada cara yang pernah diungkapkannya. Dalam salah satu karangannya yang berjudul Mi'yar al 'Ilmi beliau menyarankan agar orang yang berniat menyampaikan sesuatu (ilmu) pada orang lain, hendaklah ia menyesuaikan bobot dan bahasa omongan dengan orang tersebut. Jika lawan bicaranya adalah tukang kayu maka usahakan kita bisa menggunakan istilah perkayuan yang sering dipakainya agar dia lebih bisa paham. Jika ilmuwan itu tak mengerti sama sekali tentang perkayuan, lantas mengapa masih disebut ilmuwan?

Sekali lagi, makna yang tersirat dalam kata ilmiah adalah bahwa sesuatu yang ilmiah itu bisa membuat pekerjaan lebih baik, mudah ataupun pantas. Bukan malah mempersulitnya. Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka tak sepantasnya para ilmuwan yang masih begitu mau disebut sebagai ilmuwan. Apalagi sampai mengaku-aku.

No Response to "Bahasa Ilmiah Ilmuwan"

Leave A Reply