Jumat, 30 April 2010

Bakat (Kyai) NU

Posted on 23.25 by Muhammad Najihuddin


Sudah hampir sepekan kiranya media massa nasional mendadak “hijau”. Dari Makassar,tempat muktamar Nahdlatul Ulama (NU) digelar, Hijau, warna kebesaran NU menyebar ke seluruh nusantara. Eksposure yang semacam ini tentu tidak berlebihan. Mengingat NU adalah jamiyyah terbesar yang ada, tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia. Tentu pertimbangan yang dibuat bukan didasarkan sebatas pada banyak sedikitnya masa yang terafiliasi di dalam NU dan teridentifikasi sebagai nahdliyyin. Kontribusi NU terhadap bangsa dan Negara Indonesia tetap menjadi parameter utama.

Membincangkan kontribusi NU terhadap Negara ini tentu hal yang menggelikan kalau ditujukan sebagai upaya untuk ngundat-undat atau “renumerasi”. Pada kondisi tertentu bahkan sikap bertanya perihal kontribusi NU sama halnya dengan pengalpaan terhadap sejarah. Hanya menunjukkan bahwa kita sedang mengalami amnesti yang sangat parah terhadap sejarah. Sebagai jam’iyyah yang berumur lebih tua dari Indonesia,kontribusi NU terhadap Negara ini tidak perlu diragukan lagi.

Yang menarik ketika menyimak perbincangan NU tentu soal bagaimana seharusnya NU berkontribusi. Apakah terus berada di akar rumput bersama masyarakat. Atau ikut terjun bebas ke dalam percaturan politik (real politic). Pencarian akan jawaban dari pertanyaan ini selalu diiringi perdebatan internal NU, mengundang beragam kritik dari luar, sekaligus memunculkan frase “kembali ke khittah NU”. Frase ini bagi sebagian elite nahdliyyin yang menganggap terjun ke politik praktis sebagai tuntutan zaman, dihadapi dengan dengan gamang. Ada kesan bahwa mereka yang pro politik enggan diberi label “orang yang tak tahu adab” dan “ingkar pada komitmen”. Sebab NU, walau sebuah organisasi namun punya ciri khas berupa penokohan kyai atau adanya figur sentral, bukan sistem organisasinya.

Realita bahwa NU punya masa yang besar dengan kohesivitas yang tinggi merupakan godaan yang paling nyata bagi NU untuk terjun di arena politik praktis. Ditambah suplemen berupa model eleksi di Negara demokrasi seperti Indonesia yang membuat berpolitik semakin menggiurkan. Adapun bobroknya birokrasi Negara ini berperan memanggil “jiwa malaikat” para elite NU yang berasal dari kalangan kyai untuk membenahinya. Barangkali konsepsi kyai atas birokrasi yang baik adalah kata yang sekarang juga sedang booming, good governance. Bukankah kombinasi kesemuanya –yang dalam bahasa Komaruddin Hidayat: adanya kesempatan, rayuan, panggilan dan cita-cita- memang mengafirmasi NU untuk terjun dalam berpolitik?

Namun ada satu hal yang kurang dikalkulasi dengan cermat. Bahwa politik adalah politik. Banyaknya istighosah, kalkulasi modal dan prediksi kemenangan atas dasar potensi (yang belum tentu bisa realisasinya) saja tak cukup untuk memperoleh Gain. Atau jika kalkulasi sudah dilakukan maka terjunnya NU ke “kawah” politik, boleh jadi mengikutsertakan unsur “nekat”. Bagaimanapun juga “tata kelola” yang baik mutlak diperlukan kalau mau berpolitik. Dan, tanpa bermaksud mengecilkan, sepertinya tata kelola (baca: ilmu berpolitik) merupakan problem mendasar dalam NU. Keputusan NU misalnya, untuk merestui PKB sebagai partai tunggal (dengan kelar dari khittah?), terbukti tidak bisa menjadikan PKB (baca:NU) sebagai pemenang, sebagaimana dalam asumsi di atas. Ironisnya partai itu kini malah pecah. Kohesivitas massa NU, yang katanya berkisar 40-60 juta jiwa itu, ternyata hanya berhenti di bawah tratag-tratag peringatan maulid dan majlis istigosah. Naas.

Hubungan NU dan politik memang bukan soal jodoh atau tidak jodoh. Manusia dalam versi aristoteles adalah zoon politicon yang sepadan artinya dengan political animal. Soal bagaimana “si animal” ini berlaku pak Machiavelli punya penjelasan yang bagus di bukunya Il Principe . Bagi bung komaruddin (yang kebetulan tadi bukunya saya baca di Gramedia), hubungan NU dan politik adalah soal reliable dan tidaknya para ulama NU untuk berpentas di panggung politik. Reliable itu dalam benak saya punya kaitan yang erat dengan “kullun muyassarun lima khuliqa lahu” atau “man yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fi al-dien”. Dan sepertinya NU, setidaknya para Kyainya diberi kemudahan oleh Allah untuk bertafaqquh, juga untuk ngemong masyarakat.

No Response to "Bakat (Kyai) NU"

Leave A Reply