Minggu, 02 Agustus 2009

’Bijak’ , ’tak Bijak’ dan Situasional

’Bijak’lah

Dulu aku pernah pernah tergabung dalam kategori orang ’bijak’ versi pemerintah. Bahkan aku dan jutaan orang lain di pelosok nusantara, mungkin tergolong terlalu cepat ’bijak’. Mengingat kami-aku dan mereka- belum memnuhi syarat untuk menjadi ’bijak’. Pun demikian aku dan mungkin mereka tanpa sadar telah merasa bangga dan dibanggakan. Terutama oleh pemerintah.
Aku tak ingat kapan dan entah karena motif apa ada pergolakan, pemberontakan dalam diriku. Ia menolak tunduk dan terus menjadi ’bijak’. Di dalam diriku pun terjadi pergulatan, adu argumen dan antara dua kubu, yang terus ingin menjadi ’bijak’ dan yang enggan ’bijak’ lagi. Dan aku, tanpa tau mana ilham tuhan dan mana bisikan setan, menjadi juri atas diriku sendiri, atas pegulatan antara keduanya. Akan terus ’Bijak’ atau tidak.

”Silakan salah satu dari kalian mengajukan alasan kalian masing-masing. Dimulai dari kau ’Bijak’.” aku memulai persidangan.

Si ’Bijak’ mulai memaparkan semua pertimbangannya.

”Tuan, memang benar kalau bayi terlalu cepat dilahirkan, prematur, biasanya kurang sehat, tapi Anda dan mereka yang terlalu prematur untuk ’bijak’ ini sungguh tidak seperti bayi. Anda justru, telah melakukan banyak hal, tidak merepotkan sebagaimana bayi.”

”Maksudmu? yang lebih riil...” aku minta penjelasan yang lebih gamblang pada si ’Bijak’.

”Dengan terus melanjutkan menjadi orang ’bijak’ berarti anda telah membantu menopang keuangan pemerintah, menghidupi banyak pegawai negeri dan membuat banyak jalan dibangun.”

”Dalam bidang olahraga, menjadi ’bijak’ berarti ikut berkomitmen memajukan olahraga nasional, mulai sepakbola, bolavoli, futsal badminton, sampai motocross. Anda dan manusia Indonesia lain tak akan menonton liga Italia, Spanyol, Inggris Jerman, atau jika anda nasionalis, ISL, IBL tidak akan terselenggara tanpa ada orang ’bijak’.”

”Ooo.... berarti karena itulah pemerintah menyebut aku dan jutaan orang lain, lewat spanduk yang direntang di jejalanan, di tikungan dan perempatan, di depan institusi pemerintah, di lapangan dan di semua tempat strategis, sebagai orang ’bijak’. Semua spanduk itu tentu saja untuk menunjukkan pada khalayak bahwa aku juga berjasa bagi pemerintah dan bangsa dan karena itu menjadi pinuji?” aku bertanya dan mulai terpengaruh oleh pemaparannya yang rasional sekaligus emosional.

”Lebih dari itu..! Dengan menjadi ’bijak’, bagi manusia yang tak merasa cerdas, sebenarnya dia tak kalah dengan anak turun Habibi yang sedang bergelut di olimpiade, sebab dengan menjadi ’bijak’ dia akan membantu mereka yang mampu tapi tak mampu. Tengoklah di universitas seluruh Indonesia ada berapa skim beasiswa buah ’bijak’nya dia dan juga anda? Atau lebih gampangnya googling saja! Artinya kalau anda berhenti menjadi ’bijak’ maka tak akan ada lagi Habibie-habibie terlahir di pertiwi”

Ku tarik laptop di sampingku, segera saja ku lihat barang bukti yang disodorkannya tadi. Dan memang benar apa yang dikatakannya. Dengan menjadi ’bijak’ aku juga ikut berperan terhadap pendidikan nasional.

”Di bidang seni, anda juga ikut menyumbang agar kreativitas anak bangsa bisa di tonjolkan, ditunjukkan pada dunia luar, bahwa Indonesia juga bisa dan punya Indonesian idol. Bahwa kita masih punya pangeran dangdut setelah sang raja yang karena merasa tak pantas mentas karena telah udzur dan lebih berkonsentrasi untuk akhiratnya. Dan semua itu menegaskan bahwa dunia musik kita bukan kelas medioker, bukan semenjana seperti yang selama ini orang sinis dan pesimistik terhadapnya. Anda ikut andil dalam semua itu. Begitulah keprematuran anda untuk ’bijak’ sungguh punya banyak manfaat.”

”Yaa aku paham ’manfaat menjadi bijak’ memang merangkum seluruh sendi kehidupan, muta’addi lah kiranya dan muta’addi afdhalu min al-qashir”. Aku bergumam lirih.

”dan karena itulah sebagian besar orang ’bijak’ adalah orang Islam. Bahkan pak kiai, yang ’alim-’alim dan saleh-saleh itu juga kebanyakan adalah orang ’bijak’. Mereka semua menjadi ’bijak’ juga atas dasar pertimbangan maslahat itu.” si ’Bijak’ menimpali, rupanya ia mendengar gumam lirihku tadi.
Bahkan ia melanjutkan. Namun kali ini mulai tidak jelas.
”......selain itu, dalam bidang ini itu dan tiu pemberani, tangguh,.... selera pria,... bukan basa-basi..., enjoy aja bijak’....mantap, real adventure..slim, impo...” suaranya mulai meracau tak jelas, mungkin karena saking bergairah untuk tetap menjadikan aku sebagai orang ’bijak’.

”Cukup ’Bijak’...!” aku membentak. Aku rasa itu semua sudah cukup dan andai bukan karena telingaku ada dua pasti aku akan tetap ’bijak’. Hanya saja kita harus mendengarkan pembelaan dari ’tak bijak’.”

”Setelah jeda sidang, giliran kau ’tak bijak’, apa yang dapat membuatku percaya padamu dan menjadi tidak ’bijak’ lagi? Sampaikan nanti.”
” Keputusan yang mengikat baru akan diambil setelah ’tak bijak’ menjelaskan alasan-alasannya. Untuk masa jeda sidang dan mengantisipasi kemungkinan transisi saya nyatakan bahwa untuk saat ini kita anut prinsip SITUASIONAL. Sesekali boleh ’bijak’ dan boleh tidak. Thok....thok... ” palu aku ketukkan dua kali, menandai rehat.





Rupiah Menguat, Utang Semakin Ringan Apa Iya?

Utang semakin ringan, apa iya

Berita di media kemarin sungguh melegakan. Angin segar menyapa wajah ekonomi Indonesia; rupiah terus menguat, imbas positifnya adalah nilai utang kita yang semakin kecil. Beban utang yang dipikul oleh Indonesia memang sedikit lebih terasa ringan karena tren positif yang terus diperagakan oleh Rupiah terhadap Dollar Amerika. Andai semula utang kita 10 USD, dan 1 USD setara dengan 150 Rupiah, artinya utang (tanpa bunga) kita adalah 1500 Rupiah. Karena rupiah menguat, dari yang semula 150 per 1 USD menjadi 100 per 1 Dolarnya, maka utang kita secara otomatis juga menjadi berkurang menjadi ”hanya” tinggal 1000 Rupiah tanpa ngoyo, tanpa pemerintah mengeluarkan uang sepeserpun. Sekedar mengingatkan, sebelum masuk ke pembahasan, semua yang saya tuliskan diatas adalah sebuah simplifikasi, hanya penyederhanaan. Sebab pada kenyataannya, utang Indonesia jauh lebih besar, dan yang namanya utang tetap saja membebani, sekalipun telah menjadi ringan. Selain itu, masih dalam rangka mengingatkan, yang namanya utang dalam konteks hubungan luar negeri tidak pernah melulu didasarkan atas friendship apalagi kemanusiaan. Selalu saja ada konsekuensi baik ekonomi maupun politis yang menyertainya. Sebab bagi orang Amerika dan sekutunya there’s no free lunch. ”innama al-a’malu binniyati” kata Kanjeng Nabi mengingatkan.

Utang, dalam pembangunan, pada mulanya memang hanya difungsikan sebagai tiang tambahan, hanya faktor pembantu, bukan soko guru bagi pembangunan itu sendiri. Hanya saja karena there’s no free lunch, utang selalu selalu dipasang sebagai umpan sekaligus jebakan. Jadi sulit sekali, bahkan mustahil untuk bisa mengambil umpan itu tanpa terjebak masuk ke dalam debt trap.

Khusus untuk Indonesia, kata Cak Nun, ngutangnya kita ini bukan karena negara kita butuh ”pembantu” melainkan lebih karena sikap tawadlu’ kita terhadap dunia. ”biar disangka miskin, biar disangka tak mampu dan biar disangka bodoh dll. Toh Tuhan tahu bahwa sejatinya kita tidak demikian. Kita adalah negara kaya” demikian tulis Cak Nun.

Kembali ke Utang Vs Rupiah.

Karena sedari awal tulisan ini hanya merupakan sebuah simplifikasi, maka kita anggap saja beban yang kita pikul, terkait masalah utang, hanya tinggal utang dan cicilan bunga saja. Sedangkan faktor lain yang termasuk lawazim-nya utang kita eliminasi, kita anggap tidak ada atau sudah beres (semoga).

Karena yang tersisa tinggal kewajiban membayar utang dan cicilan, maka tugas kita sekarang tinggal membayarnya. Katakanlah, berdasarkan penyederhanaan di atas total utang kita adalah 1200 Rupiah. Yang 200 dari mana? Ini adalah bunga yang telah ”mekar”, yang seringkali terabaikan. Sebab saat meminjamnya bunga itu masih ”kuncup” dan baru ”mekar” saat jatuh tempo. Lalu kita bisa langsung ”setoran terhadap negara kreditur? Tunggu dulu. Lihat dulu berapa uang (dollar) yang ada di ”kantong ” APBN kita! Karena (sebagian ) utang kita denominasinya adalah dolar, artinya kita juga harus mbayar pakai dollar juga. Pun demikian, dollar yang kita punyai ini tidak bisa semau gue kita gunakan untuk mbayar utang semua hanya semata-mata karena aji mumpung rupiah menguat. Kita harus ingat juga bahwa, karena tawadlu’, negara ini membeli barang dari luar negeri (impor), walau sebenarnya barang yang kita beli juga ada di dalam negeri. Dan impor itu mbayarnya pakai dollar yang ada dikantong kita juga. Artinya uang yang ada di kantong kita yang sedianya akan digunakan untuk ”melunasi” utang berkurang karena unuk membiayai impor kita. Permasalahnnya sekarang berapa uang (dollar) yang kita miliki?

Uang yang akan membiyai impor dan membayar utang, seringkali diistilahkan sebagai devisa, merupakan penghasilan yang kita peroleh dari ekspor kita. Dari hal ini kita juga akan mengajukan tanya, berapa volume ekspor kita sekarang? Saya tak punya data untuk itu, dan karena saya tak ingin ngawur, maka ”jurus” yang akan saya pakai sekedar jurus ”meraba-raba”. Yang akan kita ”raba” adalah kondisi ekonomi dunia. Sebab ekspor yang berarti menjual barang ke luar negeri maka dengan sendirinya akan terkait kondisi perekonomian negara-negara maju tujuan ekspor kita. Sekedar menyegarkan ingatan, bahwa saat ini ekonomi dunia sedang mengalami resesi, kelesuan yang parah. Kelesuan ini tentu saja menyebabkan volume ekspor kita turun. Di sunia kondisi perekonomian yang bergairah bisa dihitung dengan jari. Itupun tak lengkap. Yang pertama China, kedua India. Negara kita, juga membuktikan kebesarannya dengan ikut termasuk dalam deretan ekonomi yang masih tumbuh ini. Dan negara yang tumbuh ekonominya itu bukanlah negara tujuan ekspor utama kita. Sebab negara tujuan ekspor kita justu emajon dalam maju. Sehingga pertumbuhan mereka negatif atau sangat rendah. Dus ekspor kita tak banyak. Dus, devisa yang kita punya juga tidak banyak, sedangkan utang kita tidak sedikit, disamping negara kita tetap butuh melakukan impor agar pabrik dalam negeri bisa tetap melakukan produksinya. ”Nah lho....utang turun, tapi uang untuk membayarnya juga tak ada!”


Soal kenaikan harga minyak

Apresiasi rupiah terhadap dolar Amerika juga dibarengi dengan harga minyak yang ikut naik. Di Indonesia, negara kaya tapi tawadlu’ ini, jika harga minyak naik maka harga minyak di dalam negeri juga akan naik. Kata pemerintah ” untuk mengurangi defisit APBN, sekaligus memperingan beban pemerintah” (dengan mengalihkan beban kenaikannya pada rakyat?).

Karena tawadlu’ juga negara kita ”sebenarnnya” punya minyak tapi tetap melakukan impor. Impor adalah membeli minyak di pasar internasional dengan harga internasional. Karena harga minyak sedang bergerak naik, maka kemungkinan besar pemerintah juga ingin cepat-cepat ”menyesuaikan” harga. Apalagi pemilu telah usai dan bahkan KPU telah mengumumkan siapa jawaranya. Dengan demikian pemerintah tak kurang alasan untuk segera menaikkan harga minyak. Dalam menjual minyak (BBM) ke masyarakat, pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh pertamina) memang tidak bertujuan untuk memperoleh profit (tapi jika bisa dan dalam jumlah yang banyak pula bukankah lebih bagus?). Yang jelas distribusi minyak dari pertamina kepada masyarakat saja diistilahkan ”jualan”. Implikasi dari kata jual adalah ketidakmauan untuk rugi.

Fenomena” impor minyak Indonesia tak lain juga berakar dari luhurnya nilai bangsa ini sehingga dalam urusan minyak Indonesia juga tak ingin ”serakah”, ingin selalu berbagi dengan orang lain. Karenanya, daripada melakukan eksplorasi dan ekstraksi secara mandiri sehingga terkesan egois, mending ”ngundang” orang lain untuk ikut bersama ”menikmati” yang kita punya. Kontrak kerjasama antara pemerintah dengan orang asing dinamakan KPS/ Kontrak Production Sharing. Jika ada dijumpai berita bahwa Indonesia mengekspor minyak, maka yang melakukan itu, sayang seribu sayang (atau justru puja tuhan), bukan Pertamina melainkan orang asing (KPS). Namun sebaliknya, jika ada berita impor minyak, maka bisa dipastikan impor itu dilakukan, sebagai bentuk ketawadlu’an, oleh Pertamina. Oleh Indonesia.

Sekali lagi, impor artinya kita keluar uang. Devisa kita berkurang lagi. Kalau begitu, sungguh nglunasi utang bukan perkara yang gampang. ”easy come” ternyata tak selamanya ”easy go”, hutang datang silih berganti tapi melunasinya susah setengah mati.

Rupiah menguat memang benar. Hutang otomatis berkurang tak salah dan karenanya kita bersyukur. Hanya saja sekarang berapa yang mampu kita bayar? Agar program pembangunan yang memang mendesak untuk dilaksanakan tidak terbengkalai. Juga agar kita tak menjadi dzalim karena termasuk kategori mathlul ghoniyyi, menunda membayar utang padahal kita mampu (hanya sedang tawadlu’). Optimisme ”bahwa kita mampu melunasi utang” memang wajib terus berkumandang dan diupayakan. Namun realistis dan tidak grusa-grusu dalam memanage masalah hutang juga penting. Semoga kita tak larut dalam ”euforia” menguatnya Rupiah yang jelas merupakan anomali pasca meledaknya bom Mega Kuningan. Mungkin juga apresiasi Rupiah sebatas bebungah, Tuhan sedang menghibur Indonesia setelah kemarin ditimpa musibah.