Kamis, 23 April 2009

Ego Extension Kyai

Semalam saya membaca renungan Muhtar Buchori (Indonesia Mencari Demokrasi, INSISTPress: 2005), tentang kesopanan, judulnya “Sopan, Correct, dan Kruiperig”. Dua istilah terakhir mungkin asing di telinga. Adapun artinya kurang lebih tingkah laku yang sesuai dengan etiket pergaulan untuk correct, sedangkan kruiperig artinya kesopanan pura-pura. Salah satu gagasan sentral dalam tulisan tersebut adalah pentingnya berlaku sopan secara benar. Maksudnya bisa menyeimbangkan antara keduanya; kesopanan dan kebenaran. Sebab berdasarkan pengamatan Muhtar Buchori keduanya seringkali timpang, sehingga yang lahir pada akhirya adalah kebohongan.

Ternyata susah juga untuk mencari ekuilibrium diantara keduanya saat ingin menuangkan pikiran dalam tulisan mengenai ego extension dalam kehidupan kyai ini. Invisible hands ala Adam Smith yang konon punya daya self-regulating ternyata susah untuk diterapkan dalam dua masalah nonekonomi ini. Namun dalam tulisan ini, walau pada kenyataannya susah, saya mencoba menyeimbangkan keduanya, agar tak ada kebohongan.

Saya menjadikan kesopanan sebagai semacam mukaddimah sebab obyek yang ingin saya tulis adalah Kyai. Sosok yang terhormat dan karenanya harus berlaku sopan terhadap mereka. Bahkan di Solo tidak hanya manusia bergelar Kyai yang di hormati dan disopani. Benda dan hewan pun bisa diperlakukan bak manusia dalam memperoleh kehormatan yang biasanya dialamatkan pada Kyai. Buktinya adalah Kyai slamet di Kolo dan banyak keris serta pusaka lain yang memakai Kyai sebagai julukan atau nama.

Kyai adalah sosok yang sangat terhormat. Apalagi di kalangan santri (pesantren salaf). Kyai adalah segalanya. Karenanya penghormatan, yang dalam istilah pesantren disebut takdzim, kepada mereka (kyai) adalah suatu yang sangat wajib. Dan karenanya takdzim santri itu seringkali berlebihan, bahkan kadang akan ada kesan kruiperig! Setidaknya, berdasar identifikasi Muhtar Buchori, kruiperig bercirikan perilaku penuh sanjungan terhadap orang lain dan merendahkan diri secara berlebihan. Dalam konteks hubungan antara santri dan kyai ciri ini bisa berlipat ganda. Di sinilah yang menarik, masih menurut Muhtar Buchori, jika manusia masih punya harga diri maka dia akan merasa muak menghadapi orang lain yang terus merendahkan diri. Namun,sejauh pengamatan saya, gejala ini tidak begitu terlihat dalam konteks relasi Kyai-santri. Yang ada justru Kyai sangat menikmati penghormatan itu, walau dalam bentuk kruperig sekalipun! Dalam bahasa yang vulgar, banyak Kyai yang gila dihormati! Jika diteruskan lagi maka, dengan sangat terpaksa saya katakan, ada beberapa Kyai yang tak punya harga diri. Contohnya, jika mencucup tangan merupakan suatu cara untuk menghormati orang lain, maka lihatlah betapa Kyai menikmati tangannya “dicucup” oleh santri! Tidak salah memang, demikian agama memerintahkan pemeluknya untuk menghormati orang yang berilmu. Dan “nyucup” tangan merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam konteks masyarakat Indonesia. Apalagi kyai identik dengan ulama. Sabda Nabi juga jelas “ulama adalah para pewaris Nabi”. Jika ditambah konsep barokah yang sangat lekat dengan dunia pesantren maka lengkap sudah alasan untuk menghormati kyai. tentu saja tidak semua Kyai demikian, gila dihormati. tapi ada beberapa.

Soal ego extension atau perpanjangan ego, atau perpanjangan rasa ke-aku-an berarti seorang anak yang diperlakukan oleh orang tuanya sebagai perpanjangan atau tumpuan rasa keakuannya (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Dalam dunia Kyai ego extension adalah sesuatu yang sangat kentara. Kebanyakan kyai yang (juga merupakan ayah) seringkali punya keinginan untuk menjadikan anaknya- sering disebut “gus”- lebih baik darinya atau setidaknya identik dengannya. Ego extension ini bisa dilihat pada serangkaian program penggemblengan yang dilakukan kyai terhadap anaknya sejak dini. Katakanlah, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) seorang gus harus hapal nadzam 'imrithiy (tata bahasa arab), selesai ngaji kitab fiqh yang ini, akidah yang itu dan begitu selanjutnya. Akan terus bertingkat setiap sang gus bertambah tingkat pendidikan dan usianya. Singkatnya seringkali kyai punya kurikulum khusus untuk menggembleng sang gus agar dia “berbeda” dan lebih dari santri-santrinya pada usia yang relatif masih muda. Sayangnya, saat memutuskan untuk berbuat itu kyai tidak memahami bahwa sebenarnya dia sedang melakukan pemaksaan nilai terhadap anaknya. Nilai yang tak lebih adalah kepanjangan dari obsesinya. Kepanjangan dari rasa keakuannya. Padahal menurut kajian pedagogi, tiap individu punya keakuannya tersendiri (Indonesia Mencari Demokrasi,I NSISTPress: 2005). Jadi mungkin saja seorang anak kyai punya ego yang bebeda dari ayahnya Sebab keakuan (ego) ini, tidak muncul sebagai sesuatu yang instan, melainkan bertahap. Sejalan dengan perkembangan dan interaksi sosial seorang anak.

Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa kejadian (ego extension) semacam ini sangat lekat dengan tradisi kyai. Salah satunya menurut saya adalah gelar kyai, yang merupakan suatu gelar kehormatan, diwariskan secara turun temurun. Meskipun sebenarnya pada awalnya gelar kyai bisa saja diperoleh dari nol. Dengan trukah, mendirikan pondok pesantren misalnya seseorang bisa saja mendapat sebutan kyai. Namun untuk kelajutannya akan terulang lagi, pewarisan gelar kyai pada gus. Adanya istilah gus juga merupakan pembenaran akan gelar kyai adalah sesuatu yang diwariskan. Dalam konteks ini, gus bisa saja dipahami sebagai kyai muda atau calon kyai. Padahal, sekali lagi gawagizs (bentuk jamak dari gus, berarti para gus) berdasarkan kajian pedagogi yang bersifat normatif tadi, punya ego mereka masing-masing. Ada yang mungkin sama dan mungkin juga berbeda dengan sifat (ego) ayahnya. Jika sama tentu tak ada masalah. Namun jika tidak, dan kyai tetap menjalankan kurikulum khususnya itu, yang terjadi adalah apa yang di sebut oleh banyak pakar sebagai sebuah pemaksaan nilai dan bukan penanaman nilai.

Ironisnya, walaupun kebanyakan gawagizs menjadi korban ego extension ini diawal hidup, setelah mereka jalani banyak juga yang akhirnya bahagia lahir batin. Mereka sukses berkat skenario pemaksaan nilai. Pendapat bahwasanya sebuah pendidikan hanya akan bisa optimal jika didasarkan pada penanaman nilai dan bukannya pemaksaan mendapat satu exception, pengecualian. Atau dalam bahasa pesantrennya kaidah “li kulli qâ'idatin mustastnayât”. Setiap kaidah pasti punya pengecualiannya. Dan santri, ketika menyimak fakta ini akan bersorak kemenangan bahwa apa yang dilakukan kyai mereka memang benar. Ego extension tidak terbukti berakibat buruk untuk Kyai yang mereka hormati “Ini urusan karomah. Persetan dengan ego extension, pedagogi dan analisis ilmiah!”

Kebahagian dan kesuksesan gawagizs yang notabene adalah adalah produk ego extension, bagi saya tentu bukan monopoli barokah semata. Ada hal rasional yang juga bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini. Selain internalisasi nilai yang walaupun dipaksakan tapi tetap berjalan dengan baik pada diri gawagizs, adanya reward atau kompensasi dalam lingkungannya juga ikut menopang kebahagian gawagizs tadi. Lingkungan? Ya! Pesantren yang terdapat banyak santri yang telah didoktrin sedemikian rupa untuk takdzim baik dalam bentuk correct atau kruiperig.

sekedar menjelaskan, kruiperig dalam bahasa pesantren dekat sekali dengan munafik.

wallahu a'lam bi al shawâb



ANDAI MEREKA SADAR..

Ekonomi memang punya dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya aspek psikologis. Apalagi dalam masyarakat modern di mana materialisme berkembangbiak dengan sangat subur. Krisis ekonomi Amerika misalnya, yang mengakibatkan banyak orang kehilangan mata pencaharian diikuti dengan meningkatnya angka bunuh diri dan pembunuhan (kriminalitas) adalah bukti konkrit hal ini. Di Indonesia permasalah ekonomi (baca: keuangan) juga direspon dengan cara yang relatif sama. Bunuh diri, dan satu hal lain: gangguan kejiwaan. Pesta demokrasi yang berbiaya mahal ini di Indonesia terbukti mengakibatkan ganguan kejiwaan terhadap para kontestan, terutama para caleg yang gagal. Gelontoran dana besar yang mereka lakukan selama masa kampanye ternyata gagal merealisasikan keinginan mereka: harta dan tahta (dan mungkin juga wanita).

Pemilu legislatif ini diakui banyak kalangan sebagai salah satu pemilu yang berbiaya tinggi (high cost general election). Walau dalam pelaksanaannya terbilang kondusif, tetapi tetap seperti yang diramalkan banyak pihak, kualitasnya rendahan. Bahkan banyak kalangan juga menilai pemilu legislatif 2009 ini selain sebagai pemilu paling mahal juga pemilu dengan kualitas terburuk sepanjang sejarah penyelenggaran pemilu di Indonesia.

Bagi para caleg, pemilu memang membutuhkan pengorbanan dalam banyak hal. Waktu, tenaga, pikiran dan materi banyak yang tersedot untuk tujuan itu. Para kontestan caleg agar dipilih maka mau tidak mau mereka harus memperkenalkan diri kepada masyarakat yang akan menjadi pemilih (konstituen)-nya. Sosisalisasi politik ini bukan tidak berbiaya. Justru biayanya sangat besar. Para kontestan harus ”belanja politik” dengan membuat berbagai alat peraga untuk mempromosikan dirinya. Dari sekedar stiker, pamflet, spanduk, baliho, sampai iklan di media massa baik cetak maupun elektronik. Ditambah uang untu menggerakkan mesin politik mereka. Itu dalam politik yang dilakukan secara bersih. Jika dengan cara kotor, tentunya masih ditambah satu komponen penting lagi, yaitu anggaran untuk money politics. Sekilas saja bisa dibayangkan betapa besar dan yang harus dikeluarkan oleh seorang caleg.

Paham Konsekuensi
Sebenarnya ketika seseorang telah siap maju dalam pencalonan, tiap dari hal yang mereka korbankan akan punya kosekuensi lanjutan. Kata kaidah fiqhiyyahnya “ al ridlo bi al syay'i ridlo bima yatawalladu minhu”. Terjemahnya kurang lebih jika seseorang melakukan sesuatu maka ia harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi yang terbaik dan paling diharapkan oleh para caleg tentunya adalah meraih kemenangan dan terpilih. Adapun konsekuensi yang lain tentu saja kalah dan tidak terpilih. Namun keduanya, baik menang ataupun kalah masih menyisakan konsekuensi lanjutan. Salah satu yang negatif dan paling populer tentunya korupsi berikut cercaan bagi pemenang dan rugi secara finansial berikut gangguan kejiwaan bagi yang kalah. Entah disadari atau tidak hal tersebut oleh para caleg.

Konsekuensi lanjutan diatas sangatlah tergantung dari motivasi tiap individu untuk jadi kontestan pemilu dan cara mempersepsikan jabatan wakil rakyat yang diinginkannya. Idealnya, motivasi yang mendorong seseorang terjun dalam pencalonan adalah ketulusan dan keikhlasan. Tulus mengabdi, memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketulusan yang seperti ini jelas tidak datang dari ruang hampa. Ketulusan ini tumbuh dari pemahaman yang apik dan benar tehadap tugas legistator dan keinginan yang kuat untuk memajukan masyarakat. Jika yang dipahami oleh para caleg dari tugas legislator hanyalah “datang, duduk, dapat duit” (4D), tentu akan sulit mengharapkan mereka menjadi sosok yang punya ketulusan dan keinginan yang kuat untuk memajukan masyarakat. Ketulusan, di sisi lain juga bisa memunculkan sifat legowo atas hasil pemilu. Mengakui bahwa yang menang adalah lebih unggul, lebih dipercaya masyarakat

Begitu halnya jika jabatan sebagai anggota dewan dipersepsikan sebagaimana mestinya, bukan sebagai suatu “lahan basah”, tentu tak akan ada masalah. Yang menimbulkan banyak dampak negatif (termasuk maraknya stres) di kemudian hari adalah jika yang terjadi sebaliknya. Dewan dianggap “lahan basah” yang sangat menjanjikan dalam menumpuk harta dan kehormatan (baca: gengsi). Insentif, baik finansial (dalam bentuk gaji, berbagai tunjangan dan juga potensi korupsi) maupun sosial yang diperoleh anggota dewan memang terbilang menggiurkan bagi sementara kalangan. Akibatnya bisa dilihat dari banyaknya caleg dalam pemilu legislatif kali ini. Naif sekali rasanya jika mengatakan bahwa yang melatarbelakangi majunya seorang caleg adalah murni ingin berjuang untuk rakyat, tanpa “melirik” insentif finansial maupun sosialnya. Andaikata insentif anggota dewan, terutama yang finansial tidak sebesar yang sekarang, mungkinkah peminat (caleg)-nya akan sebanyak pemilu kali ini?

Mencuatnya fenomena stres di kalangan caleg yang gagal juga merupakan sebuah koreksi atas pemilu dan demokrasi di Indonesia. Pemilu yang mahal baik dari segi penyelenggaraan maupun dana yang harus ditanggung kontestan ternyata tidak linear dengan kualitas proses dan hasil pemilu. Pemilu yang kapitalistik seperti ini, alih-alih solutif justru melahirkan problematika baru. Semestinya pemilu di Indonesia lebih memperhatikan pada kompetensi, kapabilitas dan kapasitas para kontestan, bukan pada ability to pay. Sesuatu yang harus diperhatikan.



KETIKA CARREFOUR MENERUSKAN ESTAFET

Dalam dunia modern siapa yang tak mengakui betapa gemilangnya gagasan yang dikemukakan oleh J.J Rosseau, pemikir Prancis mengenai egalite, fraternite,dan liberte? Gagasan yang berarti persamaan. Persaudaraan dan kebebasaan. Ada banyak interpretasi yang berkembang di kemudian hari. Ekspansi pesat yang dilakukan oleh Carrefour dalam bisnis ritel di Indonesia boleh jadi merupakan pengejawentahan dari salah satu atau semua konsep Rosseau tadi dalam bidang ekonomi. Sayang itu dilakukan dengan sangat timpang dan kebablasan. C4, demikan carrefour biasa disebut, belakangan menjadi ikon bisnis yang selalu menghiasi berita baik cetak maupun elektronik. C4, sebagaimana dituduhkan banyak pihak disinyalir telah melanggar Undang-Undang No.5/ 1999 tentang larangan monopoli. Tongkat estafet penjajahan ekonomi pun kembali bergulir. Dan perusahaan ritel asal Prancis tersebut yang kini mengambil alih peran VOC, Exxon, Freeport dan perusahan asing lain yang telah terlebih dahulu menguras kekayaan negeri ini. Estafet penjajahan ekonomi mulai berayun ke tangan Carrefour.

Gelagat monopoli yang ingin dilakukan C4 sebenarnya telah lama terendus. Tahun 2005, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mewajibkan perusahaan ritel asal perancis ini membayar denda sebesar 1,5 Miliar (Majalah tempo, 19/04/2009). Sebabnya, saat itu C4 menerapkan minus margin dalam persyaratan dagangnya. Hal ini dilaporkan salah satu pemasoknya ke KPPU. Baru empat tahun berselang, kini C4 menghadapi masalah yang serupa. Bedanya kali ini bukan cuma satu pemasok yang mengadukan kesewenang-wenangan carrefour, melainkan sembilan pemasok yang dihadapi Carrefour.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjelaskan mengapa C4 begitu bernafsu melakukan monopoli. Pertama, budaya konsumerisme yang tumbuh pesat di negeri yang katanya religius dan kaya akan kearifan lokal ini. Masyarakat Indonesia tampakya semakin terobsesi dengan segala hal yang berbau modern. Benar apa yang ditulis Muhtar Buchori dalam Indonesia Mencari Demokrasi bahwa telah terjadi perubahan dalam masyarakat ketika memahami modern. Menurutnya, frase modern belakangan punya konotasi dari “sekedar baru” atau “just now” bertambah menjadi “baru yang lebih baik”, “lebih bergengsi”, “lebih sehat”. Jika demikian adanya, wajar jika Carrefour yang punya konsep serba modern mendapat tempat yang lebih di hati masyarakat. Carrefour juga sangat jeli memafaatkan kondisi ini. Hal ini terlihat dari moto Carrefour yang sangat persuasif “ke Carrefour aja... akh!” . Kedua, bisnis ritel di tanah Air memang memang sangat menjanjikan. Pangsa pasar penjualannya pada tahun 2008 mencapai 95,3 triliun, dengan tingkat petumbuhan 21,1 persen dan merupakan yang terbesar kedua di Asia-Pasifik (Repulika, 15/04/2009)! Prestasi ini tentu saja aneh mengingat Indonesia adalah negara berkembang dengan tingkat PDB perkapita yang tidak terlampau tinggi. Bahkan untuk kawasan Asia Pasifik sekalipun. Dengan sendirinya hal ini juga mengisyaratkan kecenderungan pola hidup hedonis yang semakin tinggi dalam masyarakat Indonesia.Wajar jika banyak yang tergiur melakukan monopoli sektor ini di Indonesia. Dan carrefour yang tergoda pertama melakukannya. Ketiga, kelengahan dari KPPU dalam mengawasi bisnis ritel di tanah Air. Dari kasus ini terlihat bahwa KPPU terkesan jaga gawang, dengan hanya menunggu pengaduan dari pihak yang terdzalimi. Padahal bisnis ritel sangat potensial dan karenanya sangat rentan terhadap monopoli. Keberanian Carrefour melakukan pelanggaran yang sama (jika tuduhan monopoli yang sekarang terbukti) dalam selang waktu yang berdekatan menunjukkan kekurangsiagaan KPPU dalam mengawal Undang-Undang anti monopoli. Kondisi ini mutlak menuntut KPPU bersikap proaktif guna mencegah kejadian serupa terulang.

Monopoli dalam bisnis ritel di Indonesia jika dibiarkan pada akhirnya juga akan membuat rakyat, terutama pedagang di pasar tradisional yang semakin terpojok. Akuisisi 75% terhadap Alfa supermarket, akan menjadikan carrefour sangat menguasai bisnis ritel di Tanah air. Artinya, di satu sisi Carrefour berpeluang besar melakukan monopoli dalam penjualan sekaligus monopsoni pembelian terhadap pemasok (Suharto, 16 April 2009). Pengaduan yang dilakukan oleh 9 pemasoknya dengan sangat jelas menunjukkan hal ini. 9 pemasok C4 ini mengeluhkan pemotongan margin yang dipersyaratkan Carrefour di bekas supermarket Alfa yang baru saja diakuisisi. Akibatnya tentu saja keuntungan yang diperoleh pemosok akan tersedot menjadi bagian dari keuntungan Carrefour. Sekali lagi perusahaan asing menjajah ekonomi Indonesia. Kemerdekaan dalam bidang ekonomi, sebagaimana ditulis oleh DR. Sritua Arief, ternyata hanyalah ilusi belaka.

Sebagai perusahaan yang punya induk semang di Perancis, negara yang memperkenalkan konsep liberte, egalite dan fraternite harusnya Carrefour menerapkan ketiganya secara berimbang. Jangan hanya menggunakan kebebasan (egalite), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite) sebagai pemanis dalam proposal dan Public Relation (PR) mereka guna mendapat berbagai kemudahan untuk berdagang, namun kemudian melupakannya dalam praktek bisnisnya. Bagaimanapun juga monopoli sangatlah bertentangan dengan ketiganya. Monopoli yang berakar dari egoisme jelas menafikan kebebasan (liberte) yang dimiliki oleh orang lain. Mengingkari rasa persaudaraan (fraternite), dan mencederai (egalite) persamaan. Dalam konteks monopoli Carrefour dalam bisnis ritel Indonesia, terlihat jelas bahwa ketiga prinsip di atas telah dilanggar.

Kejadian ini bisa disikapi juga sebagai alat koreksi atas religiusitas dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini. Nilai-nilai religi dan kearifan lokal tampaknya semakin kendor dan kedodoran dalam menghadapi serbuan budaya barat yang kali ini tampil dalam wajah konsumerisme dan budaya hedonis. Saatnya kita berintrospeksi.