Rabu, 21 Januari 2009

Krisis Ekonomi Amerika, Akhir dari Neoliberalisme?


KRISIS AMERIKA : AKHIR DARI NEOLIBERALISME?

Siapa yang menyangka bahwa perekonomian Amerika sempoyongan seperti sekarang? Apalagi jika dtambah fakta bahwa yang memporak-porandakan perekonomian pada mulanya AS ternyata “hanya” kredit perumahan yang macet. Dengan tanpa ampun kredit macet ini menghentikan roda perekonomian AS. Perusahaan-perusahaan besar yang selama ini kerap dibanggakan lumpuh tidak berdaya dan minta suntikan dana agar tetap bisa bertahan. Perusahaan tersebut antara Stanly, Merryl linch, Citigroup Inc, dan Lehman Brothers dan terakhir General Motor ikut masuk bangsal perawatan akibat krisis. Secara teoritis ,krisis yang melanda Amerika ini
akan terjadi dalam tiga gelombang (ishak Rafick,2007): gelombang pertama, gelombang subprime mortgage atau kredit perumahan yang macet tadi. Pada gelombang kedua bank pemberi kredit akan dihajar ganti oleh krisis. Sedang diurutan ketiga perusahaan asuransi dipastikan kebagian hantaman krisis juga.
Kriwikan dadi grojogan demikian orang jawa mengibaratkan krisis yang terjadi di amerika sekarang ini. Bermula dari masalah yang kelihatannya sangat sepele, sekedar subprime mortgage berubah menjadi krisis finansial yang harus diobati dengan dana yang luar biasa besar. Tahap awal saja dana yang harus disuntikkan mencapai 700 US$ jika dikurs dengan Rp 10.000 maka dengan Rp 7.000 Triliun!!! Krisis ini jelas sekali mencoreng muka AS yang selama ini selalu mengkampanyekan pasar sebagai satu-satunya alternatif bagi perekonomian dalam upaya mencapai tujuannya (kemakmuran). Pasar yang selama ini di puja sebagai sumber kemakmuran negara maju, ternyata malah kini berlaku sebaliknya, lonceng kematian justru yang dibawa oleh sistem pasar bebas. Krisis Amerika ini adalah bukti bahwa neoliberal hanya bagus sebagai mitos tapi hanya omong kosong besar jika di bawa dalam kehidupan ekonomi nyata.
Selama dua dekade terakhi AS bersama inggris menjadi dua negara yang sangat aktif mengkampanyekan kebijakan ekonomi neoliberal pada semua Negara. Sebab menurut dua negara tadi liberalisasi atau kebijakan neoliberal (dalam dunia modern) merupakan satu-satunya alat untuk mencapai kemakmuran.
Istilah neoliberalisme sebenarnya merujuk pada doktrin pasar bebas yang dimunculkan oleh ekonom liberal klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Menurut Ha- Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku mereka Reclaiming Development : an Alternative Economic Policy Manual, neoliberal punya tiga komponen utama. Pertama menaikkan peran pasar menjadi lebih tinggi dari pemerintah dalam pengelolaan perekonomian dan mediasi arus barang dan modal (melalui penghapusan berbagai macam bantuan,patokan harga, membuka perdagangan bebas, kurs mengambang dll). Kedua, memberi ruang lebih pada swasta melalui swastanisasi asset pemerintah dan deregulasi peraturan yang anti swasta. Dan terakhir menggembar-gemborkan kebijakan ekonomi yang kuat melalui anggaran berimbang, fleksibelitas pasar tenaga kerja inflasi rendah dll (Chang & Grabel 2007).
Selama dua dekade masa pekembangannya neoliberal mengklaim telah mewarnai dunia, tidak sebatas dalam aspek ekonomi, dengan hasil yang sangat positif. Ekonom neoliberal dengan bangga mengatakan bahwa pembatasan peran pemerintah telah mengurangi defisit dan tekanan inflasi, pasar semakin terdorong, mengarah pada efisiensi dan menjadikan investai baik asing maupun domestik lebih bergairah (Chang & Grabel,2007). Hal ini berarti secara umum kebijakan neoliberal telah mengantarkan manusia ke gerbang kemakmuran. Padahal pengamatan yang jeli terhadap data-data sejarah akan menunjukkan bahwasanya klaim ekonom neoliberal tadi tidak berdasar. Dani Rodrik, seorang ekonom Harvard, telah membuktikannya. Rodrik mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan prestasi ekonomi lain yang dikumandangkan oleh pengusung panji neoliberal ini sebenarnya tidak ada. Menurut Rodrik ,kebanyakan negara yang mempraktekkan kebijakan neoliberal justru mengalami pertumbuhan yang negatif. Negara-negara Afrika sub Sahara adalah korbannya. Sementara itu tercatat hanya tiga negara di Amerika Latin yang mengalami pertumbuhan lebih baik selama periode neoliberal jika dibandingkan dengan masa intervensi pasar (1950-1980). Negara itu adalah Argentina, Chili dan Uruguay. dampak lain penerapan kebijakan neoliberal adalah kesenjangan baik di dalam suatu negara maupun antar negara yang semakin meningkat. Padahal tujuan utama ekonomi adalah kemakmuran dan pemerataan distribusi kekayaan adalah salah satu indikatornya.
Jika seperti ini adanya neoliberal, ditambah bukti terbaru kolapsnya ekonomi Amerika yang merupakan pemuja utama neoliberal apakah ini merupakan pertanda bahwa neoliberal telah habis? Sebagaimana komunis yang telah runtuh beberapa tahun silam? Menarik dan pantas ditunggu ideologi apakah yang akan ganti merajai dunia?


Tarik Ulur Subsidi BBM


Mungkin masih banyak masyarakat yang tak paham benar dengan arti subsidi bahan bakar minyak (BBM) itu apa, walaupun dalam kehidupan nyata mereka tidak pernah bisa lepas dari BBM. Semua barang yang kita gunakan (konsumsi) semuanya berbau BBM. Mulai dari yang jelas terlihat menggunakan BBM seperti kompor dan mobil, sampai yang secara kasat mata tampak tak berkaitan sama sekali dengan BBM, seperti halnya baju yang kita kenakan. BBM bagi kehidupan manusia sekarang ini ibarat darah yang melumuri daging, semuanya merah dan “amis” oleh BBM
Sebab semua barang yang sampai pada tangan kita untuk kemudian kita konsumsi dari proses produksinya sampai distribusi semuanya memerlukan BBM. Oleh karena itu ketika harga BBM naik, maka secara otomatis harga barang lain akan terkatrol naik.
BBM adalah komoditas langka, dibutuhkan semua negara tapi tidak di semua negara BBM tersedia. Ketersediaan BBM yang sedikit (kelangkaan) inilah yang menjadikan BBM dikategorikan sebagai barang ekonomi. Adapun bahwa BBM dibutuhkan (permintaan) oleh semua negara adalah faktor yang menjadikan harga BBM mahal. Sesuai dengan bunyi hukum permintaan “tingginya jumlah permintaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan akan membuat harga suatu barang menjadi mahal”. Kelangkaan BBM ini juga merupakan salah satu faktor utama terjadinya perdagangan internasional. Negara yang tidak mempunyai ladang minyak akan mengimpor minyak dari negara penghasil minyak guna melaksanakan kegiatan industri di negaranya. Seperti diungkapkan di atas, karena jumlahnya yang sedikit dan permintaan yang banyak maka harga BBM di pasaran internasional akan lebih mahal daripada di pasar domestik. Menghadapi kenyataan ini maka seringkali negara penghasil minyak dilanda kebingungan antara menjual ke luar negri untuk meraup untung banyak atau tetap menjual di dalam negeri, tapi dengan keuntugan yang lebih sedikit. Hilangnya kesempatan untuk meraih harga yang lebih tinggi semacam ini dalam ekonomi dikenal dengan istilah opportunity cost.
Indonesia sendiri, yang merupakan salah satu negara penghasil minyak menghadapi dilema yang sama. Apakah akan menjual minyak lebih banyak keluar negeri ataukah tetap menjaga ketersediaan minyak di dalam negeri? Karena pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka dengan sendirinya kemaslahatan rakyat yang menjadi orientasinya dan orientasi murni produsen (untuk selalu mencari keuntungan harus) harus dikekang. Kemaslahatan ini tidak lain dilaksanakan dengan mengurangi jumlah BBM yang seharusnya bisa di jual ke luar negeri guna menjamin ketersediaan pasokan BBM di dalam negeri. konsekuensinya keuntungan yang diperoleh pertamina menjadi lebih kecil dari keuntungan potensial (yang seharusnya didapat). Keuntungan yang hilang (opportunity cost) inilah yang oleh ekonom Indonesia yang belajar di Amerika (Berkeley) sana diterjemahkan sebagai subsidi.
Jadi sebenarnya arti kata subsidi ketika dirangkai dengan kata BBM, bukan lagi arti sebagaimana yang ada di kamus. Subsidi ini juga bukan berarti “kebaikan pemerintah” yang mau menganggarkan sebagian dari penerimaannya untuk ikut nalangi harga yang mesti dibayar oleh rakyat, sehingga harganya akan lebih murah. Sebab pada kenyataannya praktek Subsidi BBM memang tidak demikian adanya.
Lucunya pemerintah kemudian memakai logika opportunity cost ini dalam penyusunan APBN. Atau dengan kata lain pemerintah menghitung uang yang sebenarnya tidak ada dan tidak nyata sama sekali. Belajar dari mana sebenarnya orang yang duduk di kabinet matematika seperti ini?
Istilah subsidi juga seringkali diikuti dengan berbagi pro dan kontra seputar perlu dan tidaknya subsidi dalam suatu perekonomian dan apakah subsidi membuat kegiatan ekonomi semakin efisien atau sebaliknya? Bagi mereka yang populis dan prorakyat, subsidi jelas dibutuhkan. Lain halnya kalau pertanyaan ini diajukan pada ekonom golongan neoliberal maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut mereka subsidi adalah suatu distorsi dalam perekonomian sehingga harus dihapuskan. Para pengagung mekanisme pasar yang juga pengidap “alergi” intervensi pemerintah ini menilai subsidi adalah kebijakan yang sarat diskriminasi karena melindungi produsen dalam negeri dari serbuan barang impor.
Mereka yang berasal dari kalangan ini biasanya menuntut penyesuaian harga BBM di dalam negeri terhadap kenaikan harga BBM di pasaran internasional. Jadi, masih menurut logika mereka, katakanlah pada saat harga minyak di pasar internasional adalah 140 US$ per barel, maka harga BBM di tanah air harus ikut naik menjadi sekitar10-15 ribu per liter. Sebab kata mereka jika hal ini tidak dilakukan maka defisit APBN akan semakin besar (menut Ilene Grabel anggaran berimbang adalah salah satu isi dari tiga komponen neoliberal). Padahal Jika ini sampai dilakukan maka bisa dipastikan sektor riil yang akan kejang-kejang bahkan mati. Efek dominonya pengangguran akan semakin membengkak dan masalah sosial akan semakin menjamur di pertiwi.
Yang punya pemikiran penghapusan subsidi dan penyesuaian harga BBM dengan harga di uar negeri saat harganya melambung jelas orang yang sangat tidak paham dan tidak peduli dengan kondisi rakyat Indonesia pada umumnya. Bagi mereka, mungkin observasi partisipatif, usulan yang diajukan Ishak Rafick adalah sesuatu yang pantas mereka coba. Sebab mereka tidak mungkin bisa sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya menjadi bagian ekonomi lemah hanya dengan melihat berita TV di ruangan ber-AC atau membaca koran pagi sambil menyeduh teh hangat. Kiranya jika para penggagas penghapusan subsidi ini melaksanakan observasi partisipatif barulah pandangan mereka akan berubah.
Soal penyesuaian harga minyak, dulu pemerintah menjadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai alat legitimasi untuk melakukan sedikit penyesuaian. Alasannya juga yang tidak rasional itu tadi, agar defisit APBN yang disebabkan subsidi bisa dikurangi. Lalu ketika harga minyak dunia turun drastis pemerintah malah seolah enggan untuk cepat melakukan penyesuaian. Padahal iklim ekonomi menuntut adaptasi berupa penurunan harga BBM, sebelum badai krisis finansial global, yang dampaknya mulai terasa di Indonesia, semakin menjadi. Jika pemerintah kembali beralasan bahwa penurunan harga ini kemungkinan besar hanya bersifat sementara, sebab harga minyak tergolong elastis, maka sebenarnya alasan ini juga tidak dapat bisa diterima. Pengamat perminyakan, Kurtubi juga mendukung penurunan harga minyak sampai harga keekonomiannya yaitu Rp 4.500. Bahkan menurut kalkulasinya, jika OPEC memang ingin kembali menaikkan harga minyak dengan mengurangi produksinya secara massal, katakanlah sampai 1,5 juta barel, maka harga minyak hanya akan ada di kisaran 60-70 per barel. Sehingga, umpama subsidi BBM benar-benar ada, harga BBM harus tetap turun. Fungsinya sebagai stimulus bagi sektor riil dan untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
Selain itu pemerintah juga kerap mengalasani keengganan mereka menurunkan harga BBM dengan dalih bahwa selama harga minyak dunia naik, subsidi yang harus “dibayar” oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp 100 Triliun. Hal ini memang benar adanya, akan tetapi pemeritah juga harusnya jeli bahwa kondisi sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang masalah yang dihadapi pemerintah adalah perekonomian yang mengarah ke resesi. Ini ditandai dengan menjamurnya PHK dan banyaknya perusahaan (ekspor) yang terancam gulung tikar karena tak ada order dari luar negeri. Jadi sekali lagi penurunan harga BBM bagaimanapun juga adalah suatu keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Selain itu karena BBM juga menyangkut hajat hidup orang banyak maka kebijakan yang populis dan prorakyat jelas lebih pas. Penurunan harga BBM dan subsidi termasuk kategori ini.wallahu a’lam bi al shawab


Imam Ghazali, Teman!


(Surat Untuk Temanku di Solo)
Imam ghazali kawan!tentu kalian kenal benar dengan ulama yang satu ini. Karenanya aku ingin tulisan ini diluruskan jika memang sekiranya itu harus dan perlu.Sebab aku, yang sangat jatuh hati pada pemikiran dan sosok ghozali ini adalah seorang mahasiswa Ekonomi. Jadi masalah seperti ini sama sekali bukan teritorialku. Atau dalam bahasa Andrea Hirata, aku “tidak punya wewenang ilmiah” untuk berceloteh tentang ini.

Nama lengkap ulama kelahiran Thus, suatu distrik di Khurasan, ini adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Banyak julukan yang tersemat pada Ghazali, diantaranya adalah hujjatul islam dan an-nadzar. Julukan ini terkait dengan kepiawaian beliau dalam masalah logika. Beliau banyak sekali menyangkal pendapat (syubhat) para filosof non muslim yang ditujukan untuk disusupkan ke dalam (aqidah) agama islam. Hebatnya lagi beliau menggunakan bahasa (istilah) yang juga mereka pergunakan.
Aktivitas beliau ini, yang dikenal sebagai munadzarah ini adalah salah satu bentuk dari perdebatan yang kita kenal. Hanya saja jelas debat ala Ghazali dengan para kompetitorya bukanlah debat ala kusir. Namun, yang jelas salah satu sisi yang paling menonjol dari debat adalah adu argumen, atau kalau di Jawa identik dengan eyel-eyelan ilmiah.
Lalu apa kaitan ghazali dengan kalian (kawan-kawanku)?Hubungan genetis jelas tak mungkin, sekalipun dipaksakan. Namun, walaupaun mungkin bagi orang lain hal ini terlalu dipakasakan, ada satu benang merah yang bisa kita tarik dari sosok Ghazali. Bukan hanya apa yang beliau tuliskan dalam Ihya’-nya, Tahafutul Falasifahnya, Mi’yarul ‘Ilminya atau sejemblek-jumblek karangan lain beliau. Benang merah yang saya maksudkan disini adalah cara berpikir Ghazali , bagaimana menjadi seorang yang kritis dan ngeyelan selama argument yang kita pegang rasional dan juga kuat.
Dalam suatu rapat misalnya, jika ada orang yang agak ngeyelan, jangan lantas dianggap dia egois dan tidak bisa mengerti kalian. Bolehlah kalian beri dia stempel ini tapi setidaknya setelah kalian teliti dulu gagasan yang ia lontarkan. Rasionalkah? Benarkah? Aplikatifkah? Atau justru sebaliknya? Kalau memang tidak rasional sama sekali dan cenderung konyol maka tak perlu alasan untuk menolaknya. Namun jika kalian telah menilainya (dengan obyektif) dan yang kalian temui adalah kejadian yang pertama,maka saya rasa kalian tahu apa yang harus dilakukan.
Jika kalian bertanya bukankah Rasulullah pernah bersabda al’ishmatu ma’al jama’ah? Tidak salah memang, jika pendapat banyak orang seringkali merupakan cerminan kebenaran. Namun sekali lagi hanya sebatas sering, jadi tidak selalu. Apalagi sekarang ini. Siapa yang tak kenal dengan istilah konspirasi, bukankah konspirasi walaupun mulanya hanya dari segelintir orang yang punya kesamaan gagasan, namun dalam jangka panjang akarnnya akan semakin bercabang. Mirip multilevel marketing (MLM) barangkali.
Jadi bersikap adillah terhadap pemikiran orang lain, hanya jangan karena dia tidak sekata dengan kalian maka dengan mudah kalian memberondongnya dengan pernyataan stereotip dan stigma negatif. Islam juga mengajarkan ini (berlaku obyektif). Rasullullah dan Imam Ghazali mempraktekkannya. Jadi apa tidak sebaiknya kita memulainya sekarang? Berlaku obyektif terhadap pemikiran orang lain.

Senin, 19 Januari 2009

Maaf, Hanya Tujuh Lembar

“Sobat,maaf ! “. Aku jujur telah berbohong kemarin, saat kukatakan aku telah selesai menulis untukmu. Hingga hari ini kutulis ulang, dengan niatan merampungkan, aku baru menulisinya satu lembar. Itupun belum penuh.
Entah mengapa tiap kali ku buka buku itu, selalu saja ada kebingungan yang menyergap pikirku, membelenggu tanganku dan membekukakan imajiku. Kebingungan akan apa yang harus aku tuliskan untuk orang sepertimu. Entah berapa minggu berlalu sejak kuterima buku itu darimu. Baris-baris ksong masihh saja menghampar. Masih putih polos.tanganku belum bisa bergerak tuk sekedar menuliskan satu dua kata. 9 lembar yang ia jatahkan entah karena sihir apa mampu membuat penaku macet, tersendat untuk menulis apapun.
Dan itupun baru tadi sobat, saat aku menemukan sesuatu yang pantas untuk mengawali tulisan ini. Dan taukah kau, sobat , apa itu? Yang mebebaskan anganku, melepas belenggu tanganku dan mencairkan imajiku adalah kejujuran. Ya kejujuran sobat.
Jujur untuk bertutur tentang sejumput kisah yang aku gembalakan dengannya di sabana persahabatan. Sabana yang dihamparkan tuhan dua tahun lalu. Kala langit solo penuh denan gemintang. Malam persami itu.
Masih ingatkan dengan waktu itu? Ketika langit solo penuh bintang. Milyaran! Jumlah yang sama dengan tanda Tanya yang menyembul di langit-langit hatiku. Tanya yang harus ada karena akhirnya ku tersesat di solo ini.
Tapi sobat,malam ini tuhan menghapus satu tanda Tanya yag ada ddalam hatiku. Mengapu “kenapa” yang kemarin lusa selalu menyibukkanku. Walau hanya satu tapi itu bermata rantai. Suatu putaran tanpa ujung. Dan saat itu adalah saat mata nakalku melirik ke barisan cewek yang duduk di ujung sana dan terhenti saat terarah pada sosok beroptik. Aku ingat senyumnya, lesung di pipi dan frame kacamata yang khas.


Belajar Dari Setan (Merah)

Dalam dunia modern, sepakbola telah berevolusi dari yang semula sebatas olah raga menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Hampir semua Negara maju mempunyai sepakbola yang maju. Tercatat hanya ada beberapa Negara berkembang yang punya kualitas sepakbola sebanding dengan Negara maju. Namun jika sudah memasuki bisnis sepakbola maka tak bisa disangkal bahwa Negara berkembang sekaliber Brazil (juara piala dunia terbanyak) sekalipun, tidak secanggih negara maju dalam menjadikan sepakbola sebagai bisnis. Sebagai bisnis tentunya sepakbola membutuhkan pasar sebagai tempat pengeruk kekayaan. Negara berkembang yang punya banyak jumlah penduduk tinggi adalah sasaran utamanya. Indonesia termasuk kategori ini.
Pihak MU,salah satu orang dalamnya pun mengakui dengan blak-blakan bahwa alasan MU mampir di Indonesia adalah karena banyaknya fans yang ada disini. Fans kalu diterjemahkan dalam istilah ekonomi bisa berarti pasar. Juga, kalau diamati, touring yang diadakan oleh banyak klub terkenal selalu menjadikan negara kawasan Asia dan Afrika sebagai tujuannya. Jarang sekali mereka menjadikan Brazil, Argentina atau negara lain dengan sepakbola maju sebagai tujuan. Padahal Negara-negara tadi sama-sama termasuk negara berkembang. Alasannya tadi, sebab negara-negara tersebut punya sepakbola yang bagus. Bahkan pemain-pemain dari negara tersebut adalah incaran talent scout klub –klub besar eropa (negara maju).
Adapun Indonesia yang akan kedatangan MU Juli nanti, merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk tinggi dan kondisi persepakbolaan yang sangat tidak memprihatinkan. Membaca sejarah sepakbola Indonesia seperti menerima surat panjang sekaligus memalukan. Hampir semua aspek dalam sepakbola punya rapor merah. Mutu dan skil pemain rendah, tidak profesional dan sangat minim sportivitas. Bahkan seringkali terkesan bahwa pemain bola Indonesia lebih pas jadi atlet karate atau tinju. Anekdot ini merujuk pada banyaknya kekerasan yang terjadi antar pemain, bahkan belakangan kerap melibatkan official klub dan wasit. Soal kelakuan supporter tidak usah dijelaskan bagaimana parahnya. Perhatian tehadap fasilitas pendukung utama sepakbola seperti stadion pun sangat minim. Padahal logisnya, kalau ingin maju sepakbolanya, harusnya disediakan fasilitas yang lebih mendukung. Jadi kalau Juli nanti banyak pemain utama MU yang enggan merumput di Indonesia jangan salahkan mereka, sebab memang masalahnya ada pada kita, yaitu kondisi stadion yang tidak sesuai standar.
Terlepas isu-isu di atas, sisi utama dari mendatangkan MU ke Indonesia adalah untuk menimba ilmu sepakbola dari mereka. Yang pasti mengenai teknik bermain di lapangan hijau dan kalau bisa manajemen pengelolaan klub yang professional. Terkait teknik yahud di lapangan tentunya tak lepas dari pembinaan usia dini. Jika dalam dunia normal tanah merupakan asset. Lain halnya dengan sepakbola. Aset yang paling berharga dalam sepakbola adalah pemain muda. MU termasuk klub yang sangat memperhatikan hal ini. Akademi sepakbola MU merupakan salah satu yang terbaik di dunia. David Beckham adalah buktinya. Kepedulian MU akan pembinaan bakat juga terlihat saat MU menawarkan pemain yang sudah berusia uzur seperti Edwin van der Saar, Paul Scholes dan Ryan Giggs untuk mengabdi di akademi MU. Tujuannya jelas agar skill mereka diwariskan pada generasi muda yang sedang menimba ilmu di akademi.
Klub-klub peserta Indonesia Super League atau akrab disingkat ISL yang seharusnya antusias dengan kedatangan MU sebaiknya jangan salah kaprah perihal banyaknya pemain non Inggris yang kerap bercokol di starting line up MU. Toh pun begitu, MU tetap mengimbanginya dengan pembibitan usia dini seperti dipaparkan di atas. Jika hal ini yang diadopsi oleh klub peserta ISL justru pada akhirnya sepakbola nasional akan semakin merana. Dengan banyaknya legiun asing yang didatangkan, pemain lokal, terutama yang berusia muda akan sulit berkembang. Sebab selama ini para pelatih klub-klub peserta ISL lebih suka dan percaya diri dengan pemain asing ketimbang mengasah pemain lokal. Padahal jika mau melek fakta, kebanyakan pemain asing yang ada di ISL telah beralih fungsi. Dari yang semula ditujukan untuk mengajari pemain lokal bagaimana cara bermain bola yang baik, bergeser menjadi biang kerok keributan. Jika ingin tujuan tadi dicapai sudah seharusnya aturan mengenai kualitas minimal pemain asing di tingkatkan. Jangan mereka yang bermain di divisi 3 yang kita undang untuk bermain di tanah air. Asumsi bahwa mereka yang beda warna kulit dan mata selalu lebih pandai bermain bola ketimbang kita yang berkulit sawo matang juga harus dibuang jauh-jauh.
Selain masalah pembibitan pemain, ilmu lain yang harus dipelajari dari MU ini adalah bagaimana mengelola klub secara profesional, sehingga selain sukses meraih banyak prestasi dan reputasi juga sukses secara finansial. Hampir setiap laporan mengenai daftar klub terkaya di dunia dirilis, MU selalu nangkring di posisi lima besar. Kalau ditelusuri, prestasi, reputasi dan aspek finansial sebenarnya sangatlah bertalian erat dengan pembinaan pemain di usia muda. Logikanya sederhana, jika punya pemain bagus maka besar kemungkinan prestasi akan ikut bagus dan dengan sendirinya reputasi akan mengkilap. Melihat ini investor mana yang tidak ingin ikut tanam saham dan perusahaan mana yang tidak ingin bekerjasama?
Jika ingin seperti membuat klub seperti MU berarti adalah kesiapan untuk meniru laku yang selama ini ditempuh MU. Ditambah kemampuan untuk berpikir jernih guna memilah dan memilih mana konsep yang benar-benar bisa diterapkan di Indonesia tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Namun pengembangan pemain muda, pengelolaan klub dengan profesional, peningkatan kualitas fasilitas tidak akan punya pengaruh signifikan tanpa didukung regulasi yang mendukung. Artinya harus ada upaya sinergis dari semua kalangan pecinta sepakbola di tanah air dan komitmen yang kuat untuk memajukan sepakbola nasional.



Bunga Sejiwa


Angin dhhuha ini syahdu mendayu
Membelai dedaunan kamboja searah mata
Tapa bunga
Getarannya gemerisik, lembut menyapa kalbu

Ia bertutu simfoni suatu masa
penantiannya akan bunga sejiwa
Yang setia dan dia setia
Bukan yang meranggas semusim lalu
Daunnya hijau, dalam, lekat selekat tekadnya
Tak kan merantas, meranggas atau terhempas
Ia menyeru…
Tanpa kata
Liukannya mengisyarat mata
Isyaratnya bimbang namun bahagia
Tentang bunga yang berkuncup di jiwa
Adakah ia bunga sejiwa?
Adakah ia yang dijanji Tuhan?
Bunga surga yang sejiwa



Kamis,13 Oktober 2007


sependar cahaya


Di tapal batas yang senyap
Saat dari bilik hati asa beranjak
Senja tak lagi merah merayap

Gugup menyambut
Kawanan mega pekat
Aku duduk lanyut dalam imaji
Di sabana sepanjang mata mimpi
Ketika sependar cahaya
Menghampiriku,
Datang
Minggu, 10 Agustus 2007


Jumat, 16 Januari 2009

Sandaran Hati : Senandung Untuk Tuhan


Reformasi di Indonesia ternyata tidak hanya sebatas pada dunia politik. dunia musik pun ternyata juga mendapat pengaruh positif dari reformasi. Kebebasan berekspresi yang dituangkan dengan musik berkembang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya aliran music yang mendapatkan ruang dalam masyarakat. Sambutan masyarakat dari berbagai lapisan terutama terwujud dalam banyaknya musisi baik solo maupun yang terafiliasi dalam suatu kelompok musik (grup band) baru. Letto adalah salah satu grup band yang dilahirkan
dilahirkan dalam kondisi ini. Komposisi yang unik dari masing-masing punggawanya serta kedekatannya dengan Kyai Kanjeng menjadikan Letto berani untuk menampilkan sesuatu yang beda dalam musik mereka, terutama terkait nuansa, semangat dan muatan lagu-lagunya.
Dalam lagu-lagu yang ada dalam album pertamanya, Letto memang benar-benar menampilkan sesuatu yang beda. Musik Indonesia yang selama ini didominasi dengan tema seputar romantisme dan percintaan, coba dihiasi oeh Letto dengan mengangkat masalah agama (khususnya ketuhanan) sebagai tema. Namun, hebatnya lagu-lagu ini dikemas dengan bahasa yang sederhana, tidak terpaku pada puitisasi, dan sangat mengena. Salah satu lagu dalam album pertama Letto yang punya karakteristik diatas adalah lagu yang berjudul Sandaran Hati. Sepintas lalu lagu ini seperti umumnya lagu di Indonesia yang mengangkat masalah percintaan sebagai tema. Akan tetapi jika ditelusuri dan diresapi, lagu ini memuat pesan bahwa jika manusia mau merenungi sejenak keberadaannya di dunia, akan didapati bahwa manusia sangatlah dekat dan senantiasa membutuhkan Tuhan. Atau sesuai dengan bahasa Letto , Tuhan sebagai sandaran hati yang hakiki.
Sandaran Hati : Senandung untuk Tuhan
Letto, sebagaimana musisi lain memang piawai menyembunyikan maksud di balik kata-kata yang menyusun suatu lagu. Dalam lagu sandaran hati ini, terutama pada baris pertama akan sangat sulit dideteksi bahwa inti dari lagu ini adalah kerinduan akan Tuhan. Pada baris pertama Noe , vokalis Letto yang menciptakan lagu ini, memulainya dengan suatu pertanyaan yang ditujukan kepada pribadi “yakinkah ku berdiri dihampa tanpa tepi?”. Pertanyaan memang redaksi yang sangat lazim dalam setiap suatu karya sastra, baik itu music ataupun bukan, tertulis maupun lesan. Kelaziman ini tidak lantas menjadikan lagu ini bernilai biasa. Justru penulis menilai bahwa Noe sangat paham akan keefktivitasan bentuk kalimat Tanya untuk menyampaikan maksud lagu ini pada para pendengar. Apalagi kalimat Tanya ini diajukan pada diri sendiri, yang berarti menuntut agar para pendengar melakukan semacam dialog pribadi yang dilanjutkan dengan kontemplasi. Tujuannya kurang lebih agar manusia paham tentang siapa sebenarnya dirinya. Sebab kalau dilihat dari segi waktu baik masa penulisan lagu maupun launchingnya, maka lagu ini dilahirkan ditengah demoralisasi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga menurut hemat penulis wajar jika Letto ingin mengajak para pendengarnya untuk menyadari hakikat kemanusiaannya. Caranya dengan menggunakan kalimat tanya yang dampak psikologisnya lebih terasa dan bersifat persuasif, daripada menggunakan bentuk kalimat berita atau perintah.
Setelah mengenal dirinya, dan tentunya setelah mengajukan sejumlah peertanyaan filosofis tentang diri dan kehidupannya maka akan timbul semacam pertanyaan mengenai siapa dzat yang telah menciptakannya. pertanyaan ini terekam dengan jelas dalam terusan syair diatas yang berbunyi ” bolehkah aku mendengarmu?.”. Mengenai kata ganti mu yang ada di sepanjang lagu ini juga ada sesuatu yang sangat menarik. Hampir semua kata ganti (pronominal –mu) tidak ditujukan siapa empunya secara spesifik. Apakah itu manusia atau dzat yang Maha tinggi? Gaya bahasa yang semacam ini dalam seni sastra Arab seringkali dikenal dengan istilah tasywiq.(Hasyimi,1982). Terjemah harfiahnya kurang lebih menimbulkan rasa penasaran.
Reff lagu, yang selalu diulang biasanya merupakan inti dari pesan yang ingin disampaikan pencipta lagu pada para pendengar. Dalam reff lagu sandaran hati terdapat repetisi, pengulangan kata “teringat ku teringat”. Adapun fungsi repetisi diantaranya adalah untuk memberikan penekanan yang lebih akan makna. Merunut pada hal ini maka akan ada dua penekanan terhadap makna. Pertama yang dihasilkan oleh reff, yang juga merupakan bentuk pengulangan terhadap keseluruhan suatu bait dalam lagu. Kedua adalah penekanan yang dihasilkan oleh repetisi yang ada dalam baris pertama. Dari sini terlihat bahwa makna yang ingin disampaikan adalah pentingnya kesadaran akan hakikat kemanusiaan dan kedekatannya dengan Tuhan .
Bait ini bagi penulis, juga mirip kesimpulan dari suatu silogisme . Premis awalnya ada pada kalimat tanya yang ada di bait pertama. Premis keduanya tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks akan tetapi harus dipahami dari beberapa kalimat sekaligus. Sedangkan kesimpulannya ada pada kalimat “teringat ku teringat” ini.
Kalimat “teringat ku teringat” diteruskan dengan kalimat “pada janjimu kuterikat,hanya sekejap ku berdiri kulakukan sepenuh hati”. Pronominal –mu sperti pada kata janjimu inilah yang penulis maksudkan dengan bersifat ambigu sekaligus ambivalen. Bisa ditujukan kepada manusia ataupun Tuhan. Akan tetapi ambivalensi dan ambiguitas ini sebenarnya tereduksi begitu saja dengan dihadirkannya kalimat “hanya sekejap ku berdiri”. Silogisme lagu ini akan terasa janggal dan tidak valid jika pronominal ku ditujukan untuk menggantikan manusia. Sebab sangat jarang ditemui manusia yang hanya merelakan sedikit waktu dan melakukan sedikit pengorbanan untuk orang yang dijadikannya sebagai sandaran hati (bersifat kasuistis). Ditambah dengan konsekuensi kalimat kulakukan sepenuh hati, sehingga jelas bahwa pronominal –mu dalam lagu ini ditujukan untuk Tuhan.
Setelah pronominal -mu dimaknai sebagai Tuhan, maka makna dari reff lagu ini kurang lebih akan seperti berikut. Manusia seringkali tersesat dan menjadi jauh dari Tuhan, kealpaan ini disebabkan manusia tidak lagi mengenal hakikat kemanusiaannya. Konsekuensinya manusia hanya akan melakukan sedikit kewajibannya terhadap Tuhan (ibadah semisal sholat) . Padahal pemenuhan kewajiban ini tidak memerlukan banyak waktu (dalam bahasa Letto “hanya sekejap ku berdiri”), akan tetapi masih saja tidak dilakukan dengan tulus (kulakukan sepenuh hati).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Letto merupakan salah satu grup band baru yang mencoba memberikan warna baru bagi dunia musik Indonesia. Lagu sandaran hati merupakan salah satu lagu dari album pertama Letto yang dengan sangat jelas memuat semangat keagamaan. Tema dan pesan yang diangkat pun bukan sembarang tema, melainkan tema ketuhanan. Tema yang selama ini dirasa sulit, diungkapkan oleh Letto dengan bahasa sederhana dan dengan bahasa yang sedikit mengandung ambiguitas. Namun kesederhanaan bahasa ini tidak yang tidak mengurangi makna. Justru memberikan nilai lebih, karena lagu ini akan bisa dipahami oleh banyak kalangan dan pesannya yaitu bahwa manusia adalah mahluk yang sangat dekat dan senantiasa butuh terhadap Tuhan menjadi sangat relevan dengan pemahaman kebanyakan orang.


Bukan Kemalasan, Hanya "Kenakalan Intelektual"

Bukan sekali saja saya mengajak banyak teman untuk menunaikan sholat. Tapi sayang, hasil nihil yang paling sering saya dapati. Jika mereka menjawab, paling yang keluar dari mulut mereka sebatas “titip ya!” atau “jangan lupa doakan aku ya!”. Itupun dengan raut muka tanpa dosa (yang entah mereka kenal atau tidak). Atau belakangan ini mereka akan menjawab dengan sangat percaya diri “kami sholatnya nanti kalau kami sadar, biar bisa ikhlas dan khusyuk”. Alasan ini bagi saya sangatlah menarik sebab ternyata mereka juga tahu bahwa sholat sangat membutuhkan kesadaran dan keikhlasan agar bisa diterima oleh Allah. Jadi keengganan mereka untuk tidak sholat, bukan sebatas dikarenakan kemalasan mereka, melainkan lebih dikarenakan “kenakalan intelektual” mereka. Dan alasan mereka pun, menurut saya, terbilang lumayan rasional. Setidaknya memang demikian (bahwa ibadah harus didasari keikhlasan agar diterima) yang mereka sering dengar dalam berbagai ceramah dan khotbah (yang mereka ikuti).

Dalam ibadah semisal sholat, keikhlasan memang syarat utama. Sambal tanpa cabe kiranya jika ada ibadah yang tak didasari keikhlasan. Jadi alasan teman-teman saya yang tidak sholat itu benar? Sampai disini benar, tak ada yang salah. Sebab ulama, apalagi yang tergolong ahli tasawuf hampir semuanya seiya sekata untuk menjadikan keikhlasan sebagai syarat mutlak diterimanya ibadah, termasuk sholat. Tanpa keikhlasan, kata mereka (ulama) ibadah mardudatun la tuqbalu. Tidak diterima sama sekali. Imam Ghazali ketika ditanya mengenai mana yang lebih penting sholat berjamaah di masjid tapi tidak khusyuk ataukah munfarid di rumah tetapi disertai kekhusyukan? Beliau dengan tegas memilih sholat dirumah yang disertai kekhusyukan, ketimbang di masjid tapi tidak khusyuk.

Kekhusyukan dalam beribadah memang sangat erat kaitannya dengan keikhlasan dan kesadaran. Bahkan hubungan keduanya bisa dikatakan berbanding lurus. Yang menjadi masalah dari alasan teman-teman saya sebagai alat untuk melegitimasi mereka untuk tidak sholat sebenarnya ada pada kata “nanti”. Maksudnya mereka cenderung pasif dan pasrah bongko’an dalam hal kesadaran ini. Mereka lebih memilih untuk menunggu kesadaran datang dengan sendirinya ketimbang berusaha menumbuhkembangkannya. Apakah mungkin kesadaran datang dengan sendirinya? Bagi saya mungkin, hanya saja kemungkinan itu sama seperti kemungkinan batu yang anda sentuh bisa berubah jadi emas. Atau dengan kata lain sangat kecil kemungkinannya. Yang bisa mengubah hal ini dari yang asalnya sebatas probabilitas untuk mejadi realitas pun hanya ada satu. Imam gazali membahasakan hal tunggal ini sebagai ilham ilahi. Sampai disini alasan tadi menjadi tidak sesederhana yang didengar. Sebab ilham ilahi tidak dimandatkan pada sembarang orang. DR. Sa’id Ramadan Bouty , saat mengulas Hikam ibn ‘Athoillah (The Ata’i’s Aphorisms) menjelaskan bahwa ilham ilahi atau hidayah ini hanya akan dimandatkan pada orang-orang yang benar-benar bertakwa.

Jika takwa didefinisikan sebagai menjalankan semua perintah Allah dan menjauh dari semua larangan-Nya. Sedangkan sholat termasuk salah satu perintah Allah yang wajib dilaksanakan dan dilarang keras meninggalkannya (bahkan beberapa ulama berpendapat ekstrim dengan menghalalkan darah mereka). Lalu bagaimana jika ada orang yang enggan menunaikan sholat, sembari berharap dia akan dihampiri ilham atau hidayah tadi? Apakah mungkin? Pembaca lebih bisa menjawab.

Kesadaran bukanlah hal yang bisa tumbuh dengan sendirinya. Daripada mirip rumput, kesadaran lebih mirip dengan padi yang harus sengaja ditanam, dijaga dan dipelihara agar bisa dipanen hasilnya. Salah satu cara yang paling efektif untuk menanamkan kesadaran adalah dengan pemaksaan. Jauh hari Imam Bushayri dalam qashidah Burdahnya sudah memberi kita alternatif ini. Beliau membuat metafor yang sangat baik perihal pemaksaan ini. Menurut Imam Bushayri “hawa nafsu seperti halnya anak kecil yang jika tidak disapih secara paksa dari ibunya maka dia akan tumbuh ditetek ibunya”. Walaupun metafor ini ditujukan untuk hawa nafsu bukannya penumbuhan kesadaran, saya rasa hal ini tidak lantas menjadikannya tidak relevan dengan masalah pemaksaan untuk menumbuhkan kesadaran. Hanya saja ketika pemaksaan (untuk sholat) ini hanya datang dari pribadi kemungkinan suksesnya akan sangat kecil. Sebab harus diakui bahwa manusia seringkali terlalu longgar pada mereka sendiri. Dalam kondisi seperti inilah peran dari lingkungan sangat dibutuhkan terutama dari mereka yang punya bargaining position yang kuat. Pemaksaan ini tidak harus dipahami sebagai legitimasi untuk bertindak kekerasan. Mungkin cukup dengan menciptakan iklim yang tidak kondusif baginya jika meninggalkan sholat. Misalnya dengan sindiran,teguran dan ajakan yang intensif pada mereka.

Jika sudah berhasil ditanamkan, kesadaran haruslah dijaga. Dengan apa? Rutinitas atau pembiasaan. Karenanya juga sholat disyariatkan untuk dilakukan setiap hari lima kali. Isinya pun penuh dengan repetisi atau pengulangan. Tujuannya agar kesadaran itu tetap terjaga.

Kalaupun kesadaran dan keikhlasan tetap gagal menyertai ibadah, padahal sudah melewati tahapan penanaman dan penjagaan, haruslah diingat bahwa ketika kita melaksanakan sholat (tanpa keikhlasan) sudah jauh lebih baik daripada tidak sholat sama sekali. Setidaknya peluang kita untuk mendapatkan ilham ilahi menjadi terbuka.